Oleh Pdt. Dr. Yarman Halawa
(disampaikan dalam Seminar Pertumbuhan Gereja yang diselenggarakan oleh Sinode Gereja Kristen Abdiel (Sinode GKA) bekerjasama dengan Persekutuan Gereja-Gereja Injili Surabaya (PGIS), 30-31 Agustus 2010)
Pendahuluan
Melaksanakan tugas dan tanggungjawab penggembalaan gereja ditengah berbagai isu mengenai Pertumbuhan Gereja pada hari ini bukanlah perkara yang mudah. Kondisi ini sangat terasa didalam gereja-gereja yang memiliki dasar pengakuan iman. Penggembalaan gereja menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menimbulkan pastoral pressures yang pelik dan berkepanjangan. Beberapa diantara pertanyaan itu adalah: Apakah tepat melibatkan diri didalam trend gerakan Pertumbuhan Gereja hari ini? Haruskah mengikuti pelatihan-pelatihan Pertumbuhan Gereja yang sedang marak saat ini? Haruskah memasukkan musik kontemporer dalam pelayanan ibadah? Haruskah mengadopsi beberapa gerakan rohani yang berakar dari metode-metode psikologi? Haruskah mengikuti apa yang merupakan kemauan dan keinginan jemaat bagi kehidupan rohani mereka?
Pertumbuhan Gereja sejak permulaan munculnya telah menjadi kata “ajaib’ dalam lingkup kehidupan gereja hingga pada hari ini. Para pemimpin gereja berupaya untuk mencari metode-metode dengan harapan akan mampu menarik sebanyak mungkin orang masuk kedalam gereja. Tidak jarang juga metode yang sebenarnya sudah ada kembali dipopulerkan dengan beberapa penambahan variasi disana-sini yang pada akhirnya berhasil dibeberapa tempat.[1] Sangat menyedihkan bahwa ternyata didalam upaya untuk mendapatkan pertumbuhan yang dimaksud, tidak jarang gereja mengadopsi segala macam metode yang ditawarkan dengan mengesampingkan unsur yang bersifat fundamental terutama doktrin yang benar yang seharusnya dipegang. Sepertinya unsur yang sangat vital ini tidak lagi menjadi pertimbangan penting asalkan metode-metode tersebut memberi kemungkinan bagi pertumbuhan gereja terutama dari segi kuantitas yang bersifat cepat dan instan. Tidak jarang gereja-gereja yang seharusnya memiliki doktrin yang solid –termasuk dalam hal ini mainline churches – entah dengan alasan “sukarela” atau “terpaksa” jajan – menerapkan metode-metode pertumbuhan gereja tanpa ada penyelidikan terlebih dahulu dengan harapan bahwa keberhasilan yang diraih oleh gereja-gereja tertentu yang telah menerapkannya dapat pula terjadi didalam gerejanya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya bisa saja bervariasi. Paling sederhana adalah disamping ‘kerinduan’ menjangkau jiwa bagi Tuhan juga keinginan untuk ‘memperbesar’ gereja dari gereja berskala kecil menjadi gereja berskala besar (mega-church).
Tetapi ada factor lain yang justru lebih penting dan dominan; yakni, lemahnya penggembalaan gereja dalam segi pengawasan doktrin, kurangnya kepekaan serta kemampuan menganalisis kelemahan-kelemahan fatal dari metode yang merupakan produk dari gerakan Pertumbuhan Gereja, adanya tekanan dari dalam terutama berkaitan dengan kondisi gereja yang stagnan dan kecenderungan makin menurunnya kuantitas jemaat yang tentunya mempengaruhi daya dan kemampuan gereja yang memunculkan tekanan psikologis bagi para pemimpin terutama mereka yang menjadi gembala sidang gereja. Tidak adanya integritas didalam wawasan berteologia menjadi factor utama lainnya yang membuka pintu bagi sikap kompromi yang pada akhirnya justru menimbulkan permasalahan tersendiri. Tidak dapat disangkali bahwa banyak pemimpin gereja, terutama para Gembala Sidang gereja pada akhirnya justru menjadi promotor bagi Gerakan Pertumbuhan Gereja. Tidak mengherankan jika dewasa ini terjadi “perkawinan campur” antara kelompok-kelompok mainline churches dengan kelompok-kelompok Kharismatik yang notabene merupakan kelompok-kelompok yang paling getol didalam mempromosikan gerakan Pertumbuhan Gereja dengan berbagai variasinya pada hari ini.[2]
Memahami Akar dan Teologi Pertumbuhan Gereja
Harus diingat bahwa setiap gerakan tidak terlepas dari akar gerakan itu berasal dan teologi yang melatar-belakanginya pada masa lalu. Berikut beberapa gerakan penting yang muncul dalam kekristenan di Amerika yang kemudian memberi pengaruh yang sangat besar dalam gerakan Pertumbuhan Gereja pada hari ini (termasuk di Indonesia) yang harus diketahui dan diingat oleh setiap pemimpin gereja terutama para gembala sidang gereja didalam upaya-upaya untuk mencapai pertumbuhan bagi gereja mereka pada hari ini.
1. Gerakan Kebangunan Injili (Evangelical Revivalism)
Gerakan Pertumbuhan Gereja modern tetap tidak dapat dipisahkan dari sejarah kebangkitan gerakan rohani yang pada awalnya muncul dari kalangan Injili. Apa yang disebut dengan Kebangkitan Besar yang dimulai di Amerika Serikat dalam kurun waktu c. 250 tahun (1730an hingga 1980an) telah membuka pintu ke arah gerakan Pertumbuhan Gereja modern yang puncaknya adalah munculnya trend “mega-church” sebagai dampak dari Kebangkitan Besar Keempat. Tidak dapat disangkali bahwa Kebangkitan-Kebangkitan Besar yang melanda Amerika telah mendorong apa yang disebut sebagai ‘pelipatgandaan gereja’ yang pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan “mega-church” itu. Berikut alurnya secara singkat:
1. First Great Awakening / Revival (1730-1760) dimana para tokoh utamanya seperti George Whitelfield, Jonathan Edwards adalah hamba-hamba Tuhan yang masih menekankan Calvinism/Reformed Theology. Inilah kebangkitan kaum Injili yang pertama.
2. Second Great Awakening (1790-1840) yang ditandai dengan peralihan konsep kebangunan rohani dari Calvinism ke konsep Arminianism. Salah seorang tokoh terpenting yang paling berpengaruh adalah Charles Grandison Finney.[3] Ia mengajarkan bahwa pertobatan merupakan tindakan dari kehendak manusia. Orang-orang yang tidak percaya perlu dididik, dimotivasi, dan digerakkan melalui emosi mereka untuk memilih kehidupan yang kudus. Pengaruhnya masih tetap terasa dan terlihat sampai pada hari ini didalam gereja-gereja terutama gereja-gereja Kharismatik.[4]
3. Third Great Awakening (1850an-1900an) lahirnya Social Gospel Movement, Holiness Movement dan Pentacostalism. Pengaruh Charles G. Finney terlihat dalam teologia Arminian yang diusungnya dan konsep-konsep social yang dipopulerkannya dan mewarnai gerakan-gerakan yang lahir pada masa itu.
4. Fourth Great Awakening (1960-1980) lahirnya Jesus Only Movement, Neo-Pentacostalism/Charismatic Movement dengan penekanan pada sign and wonders, glosolalia, kesembuhan ilahi dan nubuatan-nubuatan baru atau wahyu-wahyu baru. Fourth Great Awakening ini memiliki ciri khas yang berbeda dengan ketiga Kebangkitan Besar sebelumnya, yakni dimulainya trend “mega-church.” Mega-church sebagaimana dikatakan menarik perhatian yang luarbiasa oleh karena alasan yang sangat sederhana bahwa 10 gereja dengan 2000 anggota lebih ‘kelihatan’ daripada 100 gereja dengan 200 anggota.[5]
Perlu diingat bahwa sejak Second Great Awakening (Kebangkitan Besar Kedua) hingga Fourth Great Awakening (Kebangkitan Besar Keempat), pengaruh Charles G. Finney telah membawa dampak yang sangat besar didalam gereja-gereja Injili hingga hari ini. Ia telah menjelma menjadi penyebab dari beberapa tantangan dan permasalahan terbesar didalam gereja-gereja Injili pada hari ini, seperti problem seputar gerakan Pertumbuhan Gereja, problem dampak Kharismatik, dan politisasi kekristenan. Maka sangatlah tepat bila Dr. Michael S. Horton menyebutnya sebagai “orang yang paling bertanggungjawab terhadap penyimpangan doktrin yang melanda kekristenan pada hari ini.”[6] Konsep-konsep radikalnya agar hamba-hamba Tuhan menemukan Injil yang “bekerja”[7] memberi dampak, langsung maupun tidak langsung telah menjadi motif utama dalam Gerakan Pertumbuhan Gereja masa kini. Maka tidaklah mengherankan apabila konsep Pertumbuhan Gereja memunculkan pemahaman bahwa teologi terletak didalam Pertumbuhan Gereja dan bukan pada pengakuan dasar dari apa yang gereja percayai. Atau dengan kata lain, Pertumbuhan Gereja adalah kunci untuk memahami (bahkan untuk menerima) prinsip-prinsip pengakuan dasar dari gereja. Tentu saja ini tidak benar!
2. Gerakan Kaum Injili Baru (Neo-Evangelicalism)[8]
Gerakan ini pada awalnya muncul pada tahun 1942 dengan berdirinya the National Association of Evangelicals (NAE) dan berusaha menjangkau kebudayaan kepada Injil. Kehadiran lembaga ini adalah untuk mengimbangi kelompok Fundamentalis yang telah terlebih dahulu membentuk American Council of Christian Churches (ACC). American Council of Christian Churches sendiri merupakan lembaga yang dibentuk sebagai reaksi atas terbentuknya Federal Council of Christian Churches (FCC) yang merupakan wadah organisasi gereja-gereja yang menganut teologi Liberal yang sedang berupaya untuk mempengaruhi kekristenan di Amerika Serikat. National Association of Evangelicals (NAE) yang mengusung teologia Injili menjadi jawaban alternatif bagi mereka yang menolak teologi liberal, namun juga tidak setuju dengan sikap dan cara-cara yang diperagakan oleh kaum Fundamentalis. Kaum Injili menjadi kuat setelah pada tahun 1947 berdiri Fuller Theological Seminary (FTS) di Pasadena-California dan makin ditegaskan melalui penerbitan majalah kaum Injili, Christianity Today pada tahun 1956. Kaum Injili baru ini merambah ke seluruh dunia melalui lembaga-lembaga mitra gereja (parachurch) yang mereka miliki, yaitu Youth for Christ (dengan tokohnya yang terkenal, pendeta Billy Graham) dan Campus Crusades for Christ yang fokus pelayanannya terutama untuk menjangkau para pemuda dan mahasiswa. Dapat juga dikatakan bahwa peran Fuller Theological Seminary (FTS) sangat penting didalam mempromosikan gerakan Injili ke seluruh dunia dan sekaligus menjadi tempat pelatihan bagi para gembala gereja dalam kelompok Evangelical. Donald McGavran, yang dianggap sebagai pendiri Gerakan Pertumbuhan Gereja modern melalui Sekolah Misi Dunia (School of World Mission) dan Institut Pertumbuhan Gereja (Institute of Church Growth) yang dipimpinnya berhasil mempromosikan pentingnya gerakan Pertumbuhan Gereja untuk menjangkau orang kepada Kristus dan melipatgandakan gereja.
Namun sayangnya, dua puluh tahun kemudian (1960an) gerakan yang semula bercita-cita untuk mempengaruhi kebudayaan kepada Kristus justru berubah arah dengan memunculkan sikap berteologia yang baru.[9] Beberapa penyebabnya adalah sikap yang cenderung mudah mengubah sikap terhadap Alkitab,[10] kecenderungan pada positivisme,[11] kecenderungan pada kebebasan yang tanpa kontrol,[12] kecenderungan pada keterbukaan tanpa kontrol.[13] Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa kecenderungan-kecenderungan ini telah membawa dampak yang buruk bagi Pertumbuhan Gereja yang sehat. Misalnya C. Peter Wagner yang merupakan orang kedua yang menjadi tokoh gerakan Pertumbuhan Gereja modern -menggantikan Donald McGavran- kemudian beralih kedalam ‘gerakan rasuli dan Kharismatik.’ Prinsip-prinsip dan pandangan-pandangannya mengenai Pertumbuhan Gereja telah turut menjembatani “pertemuan” antara mainline churches dengan gerakan-gerakan dalam arus Kharismatik. Neo-Evangelical secara langsung maupun tidak telah mendorong lahirnya beberapa gereja ‘gaya baru’ melalui berbagai pengembangan metode dalam arus gerakan Pertumbuhan Gereja pada kurun dasawarsa 1980an dan 1990an. Beberapa diantaranya yang paling terkemuka adalah: The Seven-Day-a-Week-Church (Gereja Tujuh Hari Seminggu) oleh Lyle Schaller, The MetaChurch (Gereja Meta / Gereja Sel) oleh Carl George, The User-Friendly Church (Gereja yang Mudah Digunakan) oleh George Barna, A Church for the Twenty-first Century (Gereja untuk Abad Keduapuluh Satu) oleh Leith Anderson, The Seeker Sensitive Church (Gereja Yang Peka Terhadap Pencari) oleh Bill Hybels, The Church for the Unchurched (Gereja bagi yang Belum Bergereja) oleh George Hunter, The Purpose Driven Church (Gereja yang Digerakkan oleh Tujuan) oleh Rick Warren, Natural Church Development (Gereja Yang Berkembang Secara Alamiah) oleh Christian A. Schwarz, dan The Aqua Church (Gereja Aqua) oleh Len Sweet. Tidak terlalu berlebihan bila mengatakan bahwa gereja-gereja “gaya baru“ yang merupakan hasil dari pengembangan berbagai metode Pertumbuhan Gereja modern ini adalah gereja yang “digerakkan oleh pasar.”[14]
Banyak teolog/gembala dalam pengaruh neo-Evangelical mereduksi kebenaran mengenai dosa manusia, penebusan oleh darah Kristus, dan ajaran mengenai penghukuman kekal[15] oleh karena dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan atau zaman dan kondisi manusia serta mengedepankan humanisme (positivism dan keterbukaan), luapan emosi/perasaan, unsur-unsur psikologi, musik kontemporer, karunia-karunia rohani tertentu, wahyu-wahyu baru, dan sebagainya yang pada hakekatnya bertujuan untuk membuat manusia menjadi ‘nyaman’ dengan dirinya sendiri.
3. Gerakan Hujan Akhir (Latter Rain Movement)
Gerakan ini mulai lahir pada tahun 1948 di North Battleford, Saskatchewan, Kanada diantara gereja-gereja the Sharon Brethren Pentecostal dan mempengaruhi kelompok-kelompok Pentakosta dan Injili. Teologi Kharismatik berkaitan dengan charismata, berkata-kata dan menyanyi dalam bahasa lidah/glosolalia, praktek penumpangan tangan bagi “baptisan dalam Roh” telah menjadi unsur-unsur kesesatan yang memasuki gereja. Munculnya gerakan Jesus Only[16] yang mempopulerkan “signs and wonder” juga telah menambah masuknya unsur-unsur heretic-okultism kedalam gerakan Hujan Akhir (the Latter Rain Movement) ini.
Meskipun Gerakan Hujan Akhir (The Latter Rain Movement) sendiri telah dinyatakan oleh The Pentecostal Assemblies of God[17] sebagai bidat pada tahun 1959, namun pengajarannya terus hidup melalui seorang yang bernama Demos Shakarian dan Full Gospel Businessmen’s Fellowships yang dipimpinnya dan memunculkan The Latter Rain Movement ini dengan nama baru pada tahun 1960an sebagai The Charismatic Movement[18] yang segera meraih simpati banyak orang termasuk tokoh gerakan Pertumbuhan Gereja modern seperti C. Peter Wagner. Berbeda dengan Pentakosta lama (yang dianggap sebagai “gerakan hujan awal”); maka, Latter Rain Movement ini yang juga disebut sebagai Neo-Pentacostalism atau Kharismatik ini mempromosikan pemulihan dari seluruh karunia rohani dan berupaya ‘memulihkan’ otoritas perjanjian baru melalui apa yang mereka sebut sebagai para rasul dan para nabi modern. C. Peter Wagner, yang merupakan penerus Donald McGavran dalam Gerakan Pertumbuhan Gereja beralih ke dalam gerakan ini dan bahkan menyebut dirinya sebagai ‘rasul’ bersama-sama dengan John Wimber (Toronto Vineyard Fellowship)[19] mempromosikan “signs and wonders” dalam gerakan Kharismatik. Wagner menjadi salah satu pemimpin utama dalam gerakan ini. Maka tidaklah mengherankan dalam gerakan Pertumbuhan Gereja pasca Donald McGavran sampai pada hari ini, dipengaruhi dengan sangat kuat oleh unsur-unsur Kharismatik, dimana karunia-karunia rohani tertentu dijadikan sebagai daya tarik untuk menarik banyak orang.[20]
Salah satu dampak lain dari Latter Rain Movement ini dalam ibadah -yang juga sangat berpengaruh kedalam mainline churches– hari ini adalah pengaruh dari pengajaran pemulihan “Davidic Tabernacle Worship.” Dimana ibadah dimulai dengan membangkitkan emosi jemaat, nyanyian yang terus-menerus diulang-ulang untuk membawa jemaat masuk kehadirat Allah. Ini menjadi format ibadah Kharismatik yang pada hari ini juga telah masuk kedalam gereja-gereja dalam kelompok mainline churches. Ciri khas lainnya yang bisa dilihat dari gerakan ini adalah promosi karunia-karunia rohani terutama penglihatan, kesembuhan ilahi, wahyu-wahyu baru, kesuksesan, blessing, pemulihan (diri, keluarga, usaha, financial, kesehatan). Selain itu pengerahan massa (terutama kaum muda) beserta konser-konser musik dan lagu-lagu kontemporer merupakan andalan mereka didalam meraih “kesuksesan ibadah”[21] yang biasanya mereka sebut sebagai ibadah yang inspiratif dan penuh jamahan Roh Kudus. Hal-hal yang bersifat artificial inilah yang seringkali dianggap sebagai sebuah ‘pertumbuhan’ !
4. Post-Modernism
Post-Modernism menolak peran dan keabsahan dari kebenaran yang absolut. Para teolog Post-Modernism menyarankan hermeneutika Alkitab yang menolak kebenaran objektif yang diberitakan oleh Alkitab. Mereka beranggapan bahwa kebenaran yang sesungguhnya datang dari perspektif para pembaca dan bukan hanya dari dalam Alkitab sendiri dan menganggap bahwa kebenaran dengan sendirinya akan terjadi ketika itu sesuai dengan harapan dan pengalaman mereka.
Ciri khas pengaruhnya dalam gereja pada hari ini adalah sikap yang “ramah dan bersahabat’ terhadap ajaran pokok kekristenan dengan prinsip bahwa kebenaran harus dibicarakan tanpa menentang kesalahan / dosa, atau mengajarkan doktrin tanpa perlu menimbulkan polemik. Jadi kebenaran yang sebenarnya bukan ada pada apa yang diajarkan Alkitab tetapi terletak pada apa yang dianggap atau dipikirkan oleh manusia sebagai kebenaran. Post-Modernism mengusung semangat relativisme dengan mendengungkan motto “memutlakkan segala sesuatu adalah relatif.” Hasil yang muncul dari kerusakan berpikir ini adalah bahwa pada akhirnya didunia tidak ada satupun yang pasti sehingga sikap-sikap yang menghakimi, mengkritik atau member penilaian terhadap apa yang benar dan apa yang salah harus dibuang jauh-jauh. Maka tidaklah mengherankan bila para pemimpin gereja (terutama gembala sidangnya) yang terkontaminasi cara pandang seperti ini akhirnya menjadi pemimpin yang labil yang begitu mudah kompromi dalam mengadopsi segala macam pandangan dan berusaha –karena kuatir disebut memiliki sifat membeo– membentuk suatu format yang baru yang sebenarnya merupakan campuran dari berbagai macam model untuk menciptakan netralitas yang sebenarnya tidak lebih dari upaya untuk mencari aman.
Hal lainnya yang patut dicermati dalam Post-Modernism ini adalah prinsip anti-otoritas. Salah satu dampak ini dalam kehidupan bergereja didalam mainline churches adalah terjadinya pergeseran liturgi-liturgi tradisonal kepada gaya ibadah “mengalir.” Ibadah, musik, liturgi dalam gereja-jereja mainline dianggap kuno, kaku, mati, tidak memiliki roh, dan sebagainya. Kecenderungannya beralih kepada apa yang dianggap “baru” dan menjanjikan kepuasan dan kenikmatan ibadah yang sekaligus juga dianggap akan lebih bisa menarik orang untuk datang berbakti ke gereja. Kalau demikian maka gereja akan bertumbuh! Maka tidaklah mengherankan bila di ruang-ruang rapat majelis gereja atau di meja-meja pertemuan para hamba Tuhan hal ini menjadi agenda tersendiri dalam pembahasan terutama ketika memasuki sesi yang bersifat evaluatif terhadap kehidupan ibadah gerejawi mereka.
Post-Modernism juga telah turut andil dalam menciptakan kemunculan dari berbagai gerakan yang sebenarnya merupakan gerakan escape from reality melalui psikologi. Munculnya gerakan-gerakan seperti Pria Sejati/Real Man/Strong Man/Pria Maxima, Wanita Bijak dan sejenisnya merupakan korelasi wajar dari kondisi ini.[22]
Membentuk Wawasan Pertumbuhan Gereja Yang Sehat Sesuai Alkitab
Pertumbuhan Gereja sebenarnya merupakan istilah modern yang tidak dapat dilepaskan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Alkitab khususnya Perjanjian Baru bagi perkembangan gereja mula-mula dalam lingkup gereja kerasulan (the Apostolic Church).[23] Kitab Kisah Para Rasul mencatat pertumbuhan keluar (ekstensif) dengan bertambahnya jumlah anggota, luas jangkauan pelayanan, membesarnya organisasi gereja, dan sebagainya. Berbarengan dengan pertumbuhan ekstensif tersebut, muncul pertumbuhan intesif yakni pertumbuhan kedalam yang bersifat konsolidatif dalam bentuk penataan, pemantapan, pembinaan, administratif, dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa kedua bentuk pertumbuhan ini merupakan rekaman historis biblika mengenai sejarah awal Pertumbuhan Gereja.
1. Pertumbuhan Ekstensif
Pertumbuhan ekstensif didasari oleh Amanat Agung Kristus didalam Matius 28:18-20 dan Markus 16:15-16. Para rasul, diutus untuk pergi melaksanakan perintah ini. Patut diingat bahwa pertumbuhan ekstensif ini terjadi atas dasar kuat kuasa Roh Kudus yang diberikan kepada para murid untuk bersaksi (Kisah Para Rasul 1:8) atau dengan kata lain, Roh Kudus sendirilah yang memungkinkan para murid bersaksi. Melalui kesaksian merekalah, maka murid-murid baru bertambah di dalam himpunan para murid yang telah ada itu. Penting untuk diingat bahwa pertumbuhan ini mengikuti kerangka konsentris yang dimulai dari pusat yakni Yerusalem lalu ke wilayah propinsi terdekat yakni Yudea, kemudian ke wilayah propinsi lain yakni Samaria (yang merupakan bangsa campuran), dan akhirnya keseluruh penjuru dunia. Lukas melalui kitab Kisah Para Rasul menuturkan pertumbuhan ekstensif ini dari segi pembentukan gereja-gereja. Mulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria, Siria (Damaskus) lalu ke Antiokhia yang menjadi tempat pertama sekali penyebutan ‘kristen’ digunakan bagi orang-orang percaya (lihat Kisah Para Rasul 11:26). Dari situ kemudian menyeberang ke pulau Siprus lalu ke Asia Kecil dan akhirnya Eropa.
Pertumbuhan ekstensif ini telah mengakibatkan pelipatgandaan jumlah para murid. Jumlah pertambahan ini ada yang kecil dan besar sesuai dengan perjumpaan yang terjadi tatkala kesaksian Injil diberitakan kepada mereka. Dalam Kisah Para Rasul 1:15 dikatakan ada 120 orang yang mula-mula menjadi anggota jemaat di Yerusalem. Dan pada hari Pentakosta jumlah mereka bertambah kira-kira 3000 orang (Kisah Para Rasul 2:41). Di Antiokhia, Alkitab mencatat bahwa melalui penyertaan Tuhan sejumlah besar orang menjadi percaya dan berbalik kepada Tuhan (Kisah Para Rasul 11:21). Pertambahan juga terus terjadi baik secara orang per orang (misalnya sida-sida dari Etiopia dalam Kisah Para Rasul 8:38) maupun dalam bentuk kelompok kecil (perwira Kornelius dan keluarganya dalam Kisah Para Rasul 10:48).
Ada 2 hal penting yang perlu dicatat dan diingat dalam pertumbuhan ekstensif ini: pertama, pertumbuhan gereja terjadi oleh karena Pemberitaan Injil dari para rasul dan para murid lainnya. Mula-mula para Rasul (kaum rohaniwan) menjadi pelopor dalam memberitakan kesaksian Injil. Kemudian para murid lainnya (orang-orang percaya / jemaat) ikut terlibat melaksanakan tugas ini. Jadi kedua unsur ini (para rasul dan para murid / jemaat) merupakan dua gerak mitra sinergis yang berjalan bersama, saling mengisi dan saling mendukung. Ini menunjukkan bahwa Pertumbuhan Gereja adalah tanggungjawab bersama umat Allah. Kedua, Pertumbuhan Gereja menyangkut proses lintas bangsa dan budaya. Mula-mula Injil hanya diberitakan secara eksklusif kepada kalangan bangsa Yahudi, namun kemudian diberitakan juga kepada bangsa-bangsa lain. Mula-mula bangsa Samaria yang merupakan bangsa campuran Yahudi dengan bangsa-bangsa lain,[24] kemudian orang-orang Yunani. Lebih spesifik lagi, guna menjangkau bangsa-bangsa lain Paulus dan Barnabas diutus (Kisah Para Rasul 9:15; 11). Dengan kata lain Pertumbuhan Gereja memiliki dimensi penting didalam menciptakan keutuhan Tubuh Kristus secara inklusif dan bukan eksklusif.
2. Pertumbuhan Intensif
Pertumbuhan Intensif (pertumbuhan kedalam) dalam sejarah Pertumbuhan Gereja khususnya dalam Perjanjian Baru terlihat dalam beberapa bentuk. Misalnya: pengaturan organisasi dan administrati gereja dengan diangkatnya para pejabat gereja untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu (lihat Kisah Para Rasul 7:1-7). Kemudian timbulnya upaya pemantapan dibidang pengajaran/doktrin. Misalnya: bagaimana memahami Hukum Taurat dan ketentuan-ketentuan adat istiadat Yahudi dalam persekutuan Kristen antar bangsa (yang menjadi pokok penting dalam Sidang Yerusalem di Kisah Para Rasul 15:1-21). Selain itu dilakukan upaya pengaturan pembagian kerja dalam skala kecil hingga skala besar, program konsolidasi secara umum dan pembinaan serta kaderisasi kepemimpinan gerejawi, dan sebagainya. Beberapa dari upaya pengaturan yang sangat penting terlihat dengan sangat jelas dalam hal-hal berikut ini:
a. Kepemimpinan yang memperlengkapi segenap anggota jemaat agar mampu melayani demi pembangunan tubuh Kristus untuk menuju kedewasaan penuh dan mencapai tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (Efesus 4:12-13).
b. Kepemimpinan yang membawa jemaat yang utuh kepada kepemimpinan Kepala Gereja yakni Kristus untuk menerima pertumbuhan dan membangun diri didalam kasih (Efesus 4:15-16).
c. Kepemimpinan yang setia terhadap pengajaran yang sehat (cf.1 Timotius 4:6; 2 Timotius 4:3)
Menyadari “Bahaya” Dalam Gerakan Pertumbuhan Gereja Modern
Dari perpektif sejarah gereja, Pertumbuhan Gereja memiliki dua dampak yang tetap harus menjadi pertimbangan yang tidak boleh diabaikan dalam euforia Pertumbuhan Gereja modern pada hari ini. Pertama, bahwa Pertumbuhan Gereja bisa memiliki dampak yang “negatif.” Sejarah gereja telah membuktikan bahwa Pertumbuhan Gereja juga terjadi diluar dari metode yang manusia bisa pikirkan, yakni gerakan pertobatan massal yang tiba-tiba. Mula-mula gereja mengalami penganiayaan mulai dari abad 1 Masehi hingga awal abad 4 Masehi. Tetapi ditengah penganiayaan ini gereja justru bertumbuh kuat. Namun ketika kemudian Kaisar Konstantinus Agung mengeluarkan Edict Milan[25] pada tahun 313 Masehi, maka orang Kristen bebas dari penganiayaan yang hebat itu. Terlebih setelah kaisar ini memberi dukungan bagi gereja dan memaklumkan kekristenan sebagai agama resmi kekaisarannya; maka, laju Pertumbuhan Gereja menjadi sangat pesat. Sesuatu yang bila ditinjau dari segi kuantitas jauh melampaui Pertumbuhan Gereja pada zaman Perjanjian Baru. Terjadi “pertobatan” massal yang luarbiasa namun juga kemerosotan mutu kehidupan rohani yang luarbiasa sebagai akibat banyak orang yang memberikan dirinya dibaptis atas dasar berbagai-bagai alasan dan bukan karena sungguh-sungguh percaya dan bertobat.[26]
Hal yang sama juga dapat kita lihat pasca Reformasi gereja pada abad 16 dan seterusnya. Dimana suatu organisasi gereja bisa timbul atau tenggelam mengikuti keputusan penguasa diwilayah tertentu sebagai imbas dari pergeseran-pergeseran social dan politik. Konsep bahwa penguasa wilayah menentukan agama yang berlaku diwilayahnya (Cuius regio, aeius religio) telah menempatkan pemahaman Pertumbuhan Gereja pada sisi yang sangat negatif. Barangkali kondisi yang sama tidak kita alami pada hari ini kecuali kenyataan menyaksikan bahwa ada banyak orang yang menyebut dirinya Kristen tetapi sangat menurun minatnya terhadap kehidupan gereja dan cenderung tidak mau tahu dengan gereja.[27]
Kedua, Pertumbuhan Gereja memiliki dampak “positif.” Pelayanan misi dan pekabaran Injil melalui zending/lembaga misi telah membawa dampak yang luarbiasa bagi Pertumbuhan Gereja. Di beberapa tempat gereja bertumbuh subur meskipun dibeberapa tempat lainnya tidak terlalu bertumbuh subur. Namun bagaimanapun dampak positif melalui kehadiran gereja-gereja baru telah memberi sumbangsih yang nyata bagi perkembangan kekristenan ditengah dunia. Barangkali tidak terlalu berlebihan jika Peter Wagner –terlepas dari hal-hal bersifat fundamental yang perlu dikritisi darinya berkaitan dengan konsepnya mengenai Pertumbuhan Gereja setelah ia beralih kedalam gerakan “rasuli dan kharismatik”- mengatakan bahwa tujuan Pertumbuhan Gereja adalah untuk “lebih mengefektifkan penyebaran Injil dan melipatgandakan gereja-gereja di daerah baru.”[28] Dari Barat Injil dibawa menuju Asia, Afrika dan belahan dunia lainnya sehingga menimbulkan tumbuhnya gereja-gereja baik yang menunjukkan pertumbuhan positif yang mutlak maupun relatif. Bahkan di Indonesia, kita bisa melihat pada hari ini bagaimana gereja-gereja terus mengalami pertumbuhan secara luarbiasa, karena berbagai sebab yang kadangkala tidak terduga.
Munculnya perspektif baru didalam upaya penginjilan/misi pada tahun 1955, telah makin memperluas wawasan Pertumbuhan Gereja. Di tahun itu, Donald McGavran (1897-1990) yang dijuluki sebagai Bapa Gerakan Pertumbuhan Gereja Modern menulis sebuah buku berjudul The Bridges of God, yang merupakan uraian mengenai 2 pertanyaan mendasar yang sangat penting yang akan menjadi dasar bagi berbagai model pertumbuhan gereja dikemudian hari: 1) Mengapa gereja bertumbuh didalam situasi-situasi yang sama, dan tidak dalam situasi-situasi lainnya? 2) Hal-hal apa yang dapat dipelajari dari Alkitab dan pengalaman kontemporer untuk membantu gereja-gereja bertumbuh?[29] Asumsi dasar dari buku tersebut adalah “Allah menghendaki gereja-Nya bertumbuh.”[30] Maka ia menegaskan bahwa “Misi Kristen adalah membawa orang bertobat dari dosa-dosa mereka, menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat, menjadi bagian (anggota) tubuh-Nya, melakukan perintah-Nya, pergi menyebarkan Kabar Baik dan melipatgandakan gereja.”[31]
Prinsipnya yang terutama[32] bagi Pertumbuhan Gereja dapat disimpulkan kedalam tiga penyataan: pertama, Allah menghendaki agar anak-anak-Nya yang terhilang ditemukan dan dirangkul. Kedua, menemukan fakta tentang Pertumbuhan Gereja melalui riset yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai sebab-sebab dan kendala-kendala Pertumbuhan Gereja, dan yang terakhir adalah mengembangkan rencana-rencana khusus berdasarkan fakta yang ditemukan. Namun dalam perkembangan selanjutnya prinsip-prinsip ini dikaburkan dengan konsep yang disebut dengan Memasarkan Gereja (Marketing the Church) yang pada akhirnya mengakibatkan Pertumbuhan Gereja hanya sebagai metodologi untuk memasarkan gereja[33] dengan tujuan yang sering tidak lebih dari suatu upaya untuk memperbesar gereja dan menghasilkan keuntungan-keuntungan dari perkembangannya.
Patut diingat dan diperhatikan, bahwa ia sendiri sejak awal menyadari bahwa istilah Pertumbuhan Gereja (Church Growth) ini dapat menimbulkan dampak yang bisa memecah belah gereja. Dalam surat yang dikirimkannya kepada isterinya, Mary McGavran tanggal 8 September 1961, ia mengatakan bahwa “menekankan pertumbuhan gereja berarti memecah belah gereja.”[34] Apa yang ia katakan ini kemudian benar-benar terbukti. Pemahaman yang kompleks dan perbedaan-perbedaan yang tajam dari berbagai model Pertumbuhan Gereja telah turut ‘meramaikan’ pergumulan pastoral gereja pada hari ini.[35] Penerusnya, C. Peter Wagner ternyata melangkah lebih “maju” dari pendahulunya. Ia sangat tertarik dalam meneliti paradigma-paradigma Pertumbuhan Gereja tanpa berpatokan pada aturan-aturan Alkitab. Terlebih setelah ia beralih kedalam gerakan “rasuli dan kharismatik,” dimana ia menyebut dirinya sebagai “Apostle (rasul) C. Peter Wagner” dan bersama dengan John Wimber (Toronto Vineyard Church)[36] mempromosikan “signs and wonders” dalam gerakan Kharismatik. Konsep-konsep Pertumbuhan Gereja yang ditawarkannya telah membuka pintu bagi masuknya prinsip-prinsip humanism, bisnis, dan pelbagai ketimpangan pengajaran yang keluar dari jalur Alkitab demi tujuan pelipat-gandaan gereja yang dimaksudkannya. Hal ini mengakibatkan 2 hal: 1) Alkitab digunakan tidak lebih sebagai tempat penampung dimana bagian-bagiannya dipilih keluar dari konteksnya untuk mendukung pemikiran mengenai strategi Pertumbuhan Gereja. 2) meningkatnya konsentrasi terhadap keinginan untuk meraih jumlah melebihi tugas pemuridan. Hal ini didorong oleh pemahaman (yang tentunya tidak tepat) bahwa gereja yang besar adalah gereja yang bagus, diberkati dan diperkenan Tuhan.
Sepertinya, setiap pemimpin gereja terutama para gembala gereja patut merenungkan apa yang McGavran sendiri katakan pada akhirnya, setahun sebelum kematiannya pada 1990 bahwa ‘ia telah melakukan kesalahan.‘[37] Perasaan bersalah yang tentunya lebih disebabkan oleh karena dampak negatif dari kesalahan pengaplikasian lapangan terhadap gagasan-gagasannya mengenai Pertumbuhan Gereja yang pada akhirnya telah memunculkan berbagai model Pertumbuhan Gereja yang salah kaprah. Perhatikan laporan Asosiasi Amerika untuk Pertumbuhan Gereja yang disampaikan ketuanya, John Vaughn, yang mengidentifikasi kecenderungan gerakan Pertumbuhan Gereja pada hari ini. Diantaranya adalah:[38]
1. telah meninggalkan prinsip-prinsip dasar dari Donald McGavran.
2. penerapan pragmatis berlebihan dengan mengabaikan Kitab Suci menghasilkan suatu pelayanan yang menghalalkan segala cara untuk tujuan menumbuhkan gereja.
3. menetapkan pelayanan dari sisi ‘kebutuhan yang dirasakan’ (felt needs) orang.
4. secara sistematis menggantikan khotbah dan ajaran Alkitab dengan hal-hal klasifikasi hadirin (audience ratings), pertumbuhan statistik, keuntungan-keuntungan financial dan lainnya.
5. terfokus pada hal “mengkandangkan” orang yang sudah bertobat kepada kekristenan dan bukannya menjangkau orang yang belum bertobat.
6. ketidakmampuan untuk membedakan antara pertumbuhan gereja-gereja ortodoks dalam segi jumlah dengan gereja-gereja yang mengajarkan ajaran sesat (palsu).
7. mengukur keberhasilan dari besar kecilnya gereja.
2 “Perangkap” Yang Harus Diwaspadai Para Gembala dan Para Pemimpin Gereja
Harus diakui bahwa gerakan Pertumbuhan Gereja telah memberikan banyak sumbangsih bagi kekristenan selama bertahun-tahun dengan berlipatgandanya gereja dan memperbesar kemungkinan-kemungkinan positif yang didapatkan oleh gereja melaluinya, terutama dalam kaitan yang bersifat kuantitatif. Hal ini telah membuka wawasan dan menantang berbagai cara pandang dan pendekatan-pendekatan pertumbuhan gereja dari banyak pemimpin gereja, terutama mereka yang menjadi gembala sidang didalam gerejanya masing-masing. Ada kerinduan besar untuk menyaksikan gereja yang semakin lebih baik, lebih terarah, berdaya guna dan makin efektif terutama didalam pelaksanaan penginjilan dan misi yang dilakukan didalam gereja-gereja lokal. Tentunya ini merupakan hal yang baik dan patut untuk terus diupayakan sebagai bentuk respon yang bertanggungjawab terhadap panggilan-Nya. Namun bagaimanapun, sikap kritis dari para pemimpin gereja – dalam hal ini para gembala sidang gereja – diperlukan untuk mewaspadai akibat negatif yang fatal dalam pemikiran-pemikiran pertumbuhan gereja yang justru pada akhirnya menjadi boomerang bagi diri sendiri dan juga bagi gereja yang digembalakan. Berikut 2 “perangkap” yang harus diwaspadai:
1. Daya Tarik Jumlah
Gerakan Pertumbuhan Gereja selalu menawarkan apa yang disebut dengan ‘pelipatgandaan jumlah’ orang kedalam gereja. Donald McGavran yang disebut sebagai Bapak Gerakan Pertumbuhan Gereja Modern, didalam bukunya “Understanding Church Growth” menekankan apa yang ia sebut sebagai “pertumbuhan jumlah” sebagai satu-satunya kriteria yang sah bagi Pertumbuhan Gereja.[39] Maka tidaklah mengherankan bila ia sangat meyakini bahwa inti pemikiran Pertumbuhan Gereja adalah meneliti faktor-faktor yang dapat menolong atau menghambat pertambahan jumlah. Jadi, pada dasarnya konsep dasar Pertumbuhan Gereja adalah perkara jumlah atau kuantitas. Untuk mendukung hal ini maka selain Kitab Kisah Para Rasul, kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Baru sering menjadi rujukan bagi gerakan Pertumbuhan Gereja untuk menegaskan mengenai pertumbuhan secara kuantitas.[40] Perangkap ‘jumlah’ ini dapat mengaburkan kemurnian dasar dari efektifitas Injil yang seharusnya dipegang dalam pelayanan misi dan penginjilan. Metode dan berbagai model yang ditawarkan melalui gerakan Pertumbuhan Gereja pada akhirnya menjadi tidak lebih dari suatu upaya manusia untuk menambah sebanyak mungkin jumlah orang kedalam gereja dan bukan pada tujuan vitalnya yakni seseorang secara murni dengan kuasa anugerah Tuhan melalui pekerjaan Roh Kudus yang melahirbarukan seseorang kedalam gereja. Bahkan terkadang para pemimpin karena berorientasi pada jumlah pada akhirnya lebih memilih untuk mengorbankan hal-hal yang sebenarnya harus mereka pertahankan demi meraih sebanyak mungkin orang kedalam gereja. Dalam hal yang berkaitan dengan ibadah misalnya, Rick Warren berkata, “Saya mengaku bahwa kami kehilangan ratusan anggota potensial karena gaya musik yang kami gunakan di Saddleback, sebaliknya kami menarik ribuan orang lagi karena musik tersebut “[41]
Bila ‘jumlah’ menjadi ukuran bagi sebuah keberhasilan dan kebanggaan dalam pelayanan dan mengabaikan unsur kualitatif yang justru seharusnya menjadi prioritas utama; maka, sesungguhnya pelayanan telah mengalami kegagalan. Segala usaha untuk mencapainya meskipun kelihatan berhasil namun sebenarnya tidaklah lebih dari sebuah usaha mendirikan bangunan yang besar dan megah tanpa fondasi yang kuat. Erich Fromm memberi peringatan yang penting untuk kita ingat: “Our age has found a substitute for God – the impersonal calculation. This new god has turned into an idol to whom all may be sacrificed. A new concept of the sacred and unquestionable is arising: that of calculability, probability, factuality.”[42] Lagi pula kita harus ingat bahwa pertambahan ‘jumlah’ bukanlah segala-galanya bagi sebuah Pertumbuhan Gereja yang sesungguhnya. Prinsip Alkitab jelas dalam hal ini, bahwa pertambahan jumlah merupakan akibat yang bersifat umum yang ditunjukkan oleh karena adanya kualitas dan bukan sebaliknya. Peristiwa seperti dalam Kisah Rara Rasul yang menunjukkan adanya pertambahan jumlah harus dipahami sebagai sebuah peristiwa untuk merayakan kualitas hidup kekristenan mula-mula dan bukan sebagai sebuah alasan untuk menjadikannya sebagai bahan olokan untuk menilai kekeristenan hari ini.[43]
Agaknya kesimpulan dari George W. Peters ketika ia memberi analisa mengenai pertambahan dari individu-individu kedalam ‘gereja’ yang dihasilkan melalui gerakan-gerakan bersifat massal dalam sejarah perlu dicermati dan dijadikan sebagai peringatan. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya kondisi-kondisi yang demikian pada akhirnya tidaklah lebih dari sebuah ‘kerajaan kristen yang diciptakan dan bukan kekristenan yang sejati.’[44]
2. Daya Tarik Kesuksesan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kesuksesan sebuah penggembalaan lebih sering diukur karena jumlah yang besar dari keanggotaan gereja, makin besarnya gereja beserta hal-hal yang bersifat material yang menyertainya, dan bertambahnya pelayanan-pelayanan gereja. Akan tetapi kita harus ingat bahwa Perjanjian Baru juga telah memberikan kepada kita gambaran mengenai gereja yang sukses di dalam kitab Yakobus, kitab-kitab Petrus, dan kitab Wahyu. Gereja-gereja tersebut kelihatannya jauh dari kesuksesan sebagaimana dipahami oleh orang kebanyakan. Justru gereja mengalami penderitaan. Namun gereja tetap setia bukan karena penginjilan yang berhasil, melainkan karena tetap memelihara diri dan penuh pengharapan ditengah perjuangan hidup dan mati ditengah dunia yang gelap ini.
Barangkali masalah yang besar berkaitan dengan istilah “sukses” dalam pelayanan pada hari ini sesungguhnya bukanlah dalam pengertian biblika atau teologia tetapi sebenarnya dalam pengertian yang bersifat psikologis[45] dimana kepuasaan pada rasio dan perasaan akan pencapaian tertentu bagi Pertumbuhan Gereja memberi pengaruh pada kepercayaan diri. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa untuk mengejar kesuksesan tersebut gereja berlomba-lomba untuk menciptakan atmosfir dengan memberi kesan tidak hanya sekedar menjadi tempat untuk beribadah melainkan juga menjadi tempat yang menyediakan seluruh kebutuhan jasmani setiap orang. Tentu saja ini kurang tepat.[46] Ini mungkin bisa efektif dalam memasarkan sebuah produk didalam dunia bisnis, namun menjadi pola yang merusak apabila diterapkan didalam gereja. Ada perbedaan prinsip yang sangat besar antara strategi pasar dengan strategi Allah bagi Pertumbuhan Gereja. Strategi pasar berjalan dibawah prinsip “pelanggan adalah raja”[47] namun dalam strategi Allah prinsipnya adalah “Tuhan dan firman-Nya pusat.” Kita patut merenungkan apa yang dikatakan oleh Elmer Towns bahwa, “Firman Tuhan adalah ukuran mutlak untuk iman dan perbuatan, dan prinsip pertumbuhan gereja apapun yang bertentangan dengan Kitab Suci, walaupun ia menghasilkan pertumbuhan dalam jumlah, bukanlah prinsip pertumbuhan gereja yang Alkitabiah.”[48]
Perlu diingat bahwa mentalitas bisnis dalam pelayanan tidak akan menghasilkan dan menambah Pertumbuhan Gereja yang sehat apalagi menghasilkan integritas rohani baik bagi para pemimpin rohani maupun bagi umat percaya. Sekali mentalitas ini diadopsi dan dikedepankan, maka gereja akan lebih tertarik pada kesuksesan artificial dan keuntungan-keuntungan yang didapat melaluinya dan bukannya justru kepada kesuksesan yang hakiki yakni kebenaran dan kekudusan yang merupakan kesuksesan yang terpenting dalam pelayanan. Disinilah para pemimpin gereja terutama para gembala gereja harus mawas diri sehingga ditengah pergumulan-pergumulan penggembalaan dapat tetap memelihara integritas panggilannya seturut ajaran kebenaran. Kesalahan terbesar dalam strategi-strategi Pertumbuhan Gereja pada hari ini adalah penyangkalan (secara sadar ataupun tidak disadari) terhadap kedaulatan Allah dan sufisiensi Alkitab. Begitu banyak pemimpin gereja terutama para gembala yang telah kehilangan kepercayaan diri dan menjadi minder sehingga tidak lagi mempercayai bahwa gereja yang benar dan sehat itu akan bertumbuh melalui pemberitaan dan pengajaran firman Allah yang bertanggungjawab didalamnya.
Oleh sebab itu, kerinduan yang amat besar untuk melihat Amanat Agung berhasil sekali-kali tidak boleh digantikan dengan keberhasilan pemasaran gereja. Firman Tuhan menegaskan bahwa Tuhanlah yang menambah jemaat gereja[49] dan bukan karena kedigdayaan manusia. Tuhan kita Yesus Kristus juga mengatakan bahwa Ia sendirilah yang akan membangun gereja-Nya.[50] Alkitab menunjukkan bahwa alat yang benar untuk mengembangkan gereja semuanya bersifat supernatural, karena gereja itu pada hakekatnya adalah supernatural. Jadi sebenarnya bukan metodologi yang merupakan hasil riset dan pemikiran manusia yang mengerjakan pertumbuhan gereja-Nya. Bahkan seorang hamba Tuhan seperti rasul Paulus saja –kalau boleh disebut sebagai ahli Pertumbuhan Gereja pada zamannya- dalam 1 Korintus 2:4-5 mengatakan, “Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah.” Ini berarti bahwa kesuksesan yang sesungguhnya bukanlah terletak pada hal-hal yang dihasilkan didalam setiap upaya yang dilakukan. Kesuksesan tidak terletak kepada kemakmuran, kejayaan, kuasa, popularitas dan hal-hal lain menurut pemahaman dunia mengenai arti kesuksesan. Tetapi kesuksesan yang sesungguhnya didalam pelayanan adalah melakukan kehendak Allah tanpa menghiraukan untung dan rugi yang ada atau sikap mempertanyakan panggilan pelayanan kita sebagai bentuk keragu-raguan oleh pengaruh situasi dan kondisi yang ada.
Kesimpulan dan Saran
Fenomena gerakan Pertumbuhan Gereja saat ini memang sangat menarik untuk dicermati. Namun juga memerlukan hikmat yang tepat didalam menyikapinya. Para pemimpin gereja terutama mereka yang memangku tugas penggembalaan gereja mesti waspada terhadap berbagai produk yang muncul dari gerakan Pertumbuhan Gereja pada hari ini. Terlepas dari keberhasilan-keberhasilannya, gerakan Pertumbuhan Gereja yang diterjemahkan kedalam berbagai model dan cara harus tetap mendapat penelitian ulang dari segala sisi, khususnya sisi historis-teologis-hermeneutis-praktis secara bertanggungjawab. Sehingga dengan demikian gereja tetap terpelihara dari berbagai pengaruh yang tidak tepat dan Amanat Agung Tuhan dapat tetap dijalankan dengan murni dan bertanggungjawab.[51]
Para pemimpin gereja, dalam hal ini khsusunya mereka yang memangku tanggungjawab penggembalaan, patut menjaga diri dari mentalitas instan dan pola pikir sekuler dalam upaya untuk mencapai terjadinya pertumbuhan didalam gerejanya. Sebaliknya, dengan penuh tanggungjawab memelihara integritas diri, teologia dan pelayanan seperti halnya telah dikatakan didalam 1 Timotius 4:16, “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau.”
Dan juga, 2 Timotius 4:1-5 yang bila diuraikan akan memperlihatkan bagaimana seharusnya peran yang baik untuk mendukung sebuah Pertumbuhan Gereja yang sehat:
(1) Senantiasa mengingat akan panggilan Tuhan (ayat 1)
(2) Beritakanlah firman (ayat 2)
(3) Setia dalam segala situasi dan kondisi (ayat 2)
(4) Nyatakan kesalahan, tegur, dan nasihati dengan kesabaran (ayat 2)
(5) Jangan pernah kompromi dalam masa-masa yang sukar (ayat 3-4)
(6) Kuasailah diri dalam segala hal (ayat 5)
(7) Tetap tekun dalam menghadapi penderitaan (ayat 5)
(8) Lakukan tugas sebagai seorang pemberita Injil (ayat 5)
(9) Tunaikan tugas pelayanan (ayat 5)
Fides Quaeraens Intelectum
BIBLIOGRAPHY
Allah, TUHAN. Alkitab.
Daun, Paulus. Apakah Evangelicalisme Itu? Yogyakarta: ANDI OFFSET, 1986.
Fromm, Erich. The Revolution of Hope. New York, 1968.
Finney, Charles. The Memoirs of Charles Finney: The Complete Restored Text. Grand
Rapids: Academie Books, 1989.
Finney, Charles. Finney’s Systematic Theology. Minneapolis: Bethany House Publisher,
1976.
Halawa, Yarman. Mencermati Gerakan Rohani Dalam Pengaruh Neo-Pentacostalism di
Tengah Arus Post-Modernism. Surabaya: Sinode GKA, Buletin Sinode GKA Edisi XX Oktober 2009.
Krecjir, Dr. Richard, Dr. The Problem With Most Church Growth Paradigms
(www.churchleadership.org c 2002.
McIntosh, Gary L. Evaluating The Church Growth Movement. Zondervan, Grand Rapids,
Michigan 2004, terjemahan Indonesia dengan judul yang sama oleh Penerbit Gandum
Mas, Malang 2006.
McGavran, Donald A. The Bridges of God. Revised edition World dominion Press, UK,
1981.
McGavran, Donald. Understanding Church Growth Grand Rapids: Wm B. Eerdmans, 1970.
Norton, Michael Dr. http://www.mtio.com/articles/aissar81.htm
Norton, Michael Scott, Mission Accomplished. Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1986.
Peters, George W. A Theology of Church Growth. Grand Rapids: Zondervan Pub. House,
1981.
Reed, David A. Origins and Development of the Theology of “Oneness” Pentecostalism in
the United States. Ann Arbor, Michigan: University Microfilms International, 1980.
Stott, John R.W., Christian Mission in the Modern World. Illinois: IVP, 1979
Shelley, Bruce L. Church History In Plain Language . updated 2nd edition. Nashville: Thomas
Nelson Publishers, c 1995.
Sargeant, Kimon H. Seeker Churches. New Brunswick: Rutgers University Press, 2000.
Wagner, C. Peter. Your Spiritual Gifts Can Help Your Church Grow – terjemahan Indonesia:
Manfaat Karunia Roh untuk Pertumbuhan Gereja. Malang: Gandum Mas, 1987.
Wagner, C. Peter, Teritorial Spirits – terjemahan Indonesia: Roh-Roh Teritorial Jakarta:
Yayasan Pekabaran Injil “IMANUEL,” 1994.
Wagner, Peter. Gereja Saudara Dapat Bertumbuh. Malang: Gandum Mas, 1990.
Winter, Ralph D. Crucial Issues in Mission Tomorrow, ed. Donald McGavran. Chicago:
Moody Press, 1972.
Warren, Rick. The Purpose Driven Church. Grand Rapids: Zondervan Publishing House,
1995.
Warren, Rick. Pertumbuhan Gereja Masa Kini. Malang: Gandum Mas, 2004.
_________, http://en.wikipedia.org/wiki/Fourth_Great_Awakening.
[1]Salah satu contohnya adalah apa yang disebut dengan Purpose Driven Church yang sempat ‘booming’ beberapa tahun lalu dibeberapa tempat termasuk dalam gereja-gereja di Indonesia. Berawal dari kesuksesan pendeta Rick Warren dalam menjalankan metode ini sehingga orang terlanjur melihat Purpose Driven Church sebagai “hasil karya” Rick Warren, meskipun sebenarnya metode ini dapat dikatakan bukan murni hasil pemikirannya. Pada tahun 1970an muncul pengajaran dari pelayanan Campus Crusade, Young Life and Sun Life yang kemudian diteliti dan dikembangkan oleh Fuller Institut di Pasadena, California, Amerika Serikat pada akhir 1980an. Metode inilah yang kemudian dipopulerkan oleh Rick Warren yang ternyata berhasil di gereja Saddleback Valley Community Church yang dipimpinnya.
[2] Sangat menyedihkan jika dalam banyak kasus demi untuk tujuan ini, gereja-gereja dalam kelompok mainline churches dengan sukarela ”dibimbing” oleh para gembala gereja Kharismatik yang telah terlebih dahulu merasakan mujarabnya “ilmu” Pertumbuhan Gereja bagi gereja yang mereka gembalakan dan menjadikan mereka sebagai ‘mentor’ yang menuntun agar gereja-gereja dalam kelompok mainline churches ini juga merasakan ‘berkat” yang sama. Tentu saja untuk tujuan ini, hal-hal yang bersifat prinsipil/fundamental harus dikesampingkan!
[3]Charles Finney (1792-1875) yang semula berlatarbelakang ahli hukum (lawyer) kemudian menjadi seorang pendeta Presbyterian yang ditahbiskan dengan menerima Pengakuan Iman Westminster yang kemudian ia tolak. Dalam pengakuannya kemudian sehubungan dengan tindakannya itu, ia mengatakan bahwa ia menerima Pengakuan Iman Westminster karena “tidak mengerti” dan ‘tidak membaca.” Ini membuktikan bahwa ia menerimanya tidak lebih sebagai persyaratan saja. Ia telah menolak kerangka dasar teologia dari pengakuan iman yang berlaku didalam gereja. Dengan demikian, motif sebenarnya ia ‘menerima’ Pengakuan Iman Westminster tidaklah lebih sebagai ‘kendaraan’ atau ‘stempel’ demi pengesahan pelayanannya. Hal yang sama seringkali terjadi dalam gereja-gereja mainline churches pada hari ini yang diatas kertas menerima pengakuan iman yang berlaku didalam gereja mereka, namun dalam praktiknya menolak dan menyangkalinya! Lihat Charles Finney, The Memoirs of Charles Finney: The Complete Restored Text. (Grand Rapids: Academie Books, 1989), pp. 53-54.
[4] Finney menolak ajaran mengenai dosa asali, penebusan pengganti, dan karya pembenaran Kristus atas orang percaya.
[7]Charles G. Finney, Finney’s Systematic Theology (Minneapolis: Bethany House Publisher, 1976), pp.4-5
[8] Istilah ini adalah untuk membedakan dengan gerakan Evangelical yang muncul pada abad 17.
[9] Lihat Paulus Daun, Apakah Evangelicalisme Itu? (Yogyakarta: ANDI OFFSET, 1986), halaman 57-61. Pdt. Paulus Daun menyebutnya sebagai “Lampu Merah Bagi Kaum Injili.”
[10] Misalnya beberapa dosen dari Fuller Theological Seminary seperti Daniel Fuller, Jack Rogers, termasuk Rektornya David Hubbard mengemukakan teori “kesalahan Alkitab yang terbatas’ (Limited Inerrancy) atau tokoh Injili lainnya seperti Bernard Ramm yang berpandangan bahwa istilah “ketanpa-salahan” Alkitab tidak dapat mewakili hakekat Alkitab karena hanya akan menimbulkan perdebatan.
[11] Menekankan hal-hal yang positif dalam kehidupan Kristen. Sebagai akibatnya adalah mengabaikan sikap untuk menghadapi hakekat dosa. Sehingga dengan demikian melemahkan arti “pengudusan” yang sebenarnya.
[12] Penolakan terhadap otoritas gereja, pemikiran teologia dan sistem gereja yang memberi ruang bagi kebangkitan dan pengaruh yang lebih besar dari kelompok-kelompok Kharismatik untuk mempengaruhi mainline churches.
[13] Keterbukaan dengan semua denominasi yang tentu saja merupakan kekuatan yang luarbiasa dalam penginjilan, namun sekaligus juga memiliki efek merusak yang tidak kecil karena pada akhirnya tidak lagi menghiraukan hal-hal yang sangat prinsip berkaitan dengan pokok-pokok ajaran iman.
[14] Lihat Gary L. McIntosh, Evaluating The Church Growth Movement (Zondervan, Grand Rapids, Michigan 2004), terjemahan Indonesia dengan judul yang sama oleh Penerbit Gandum Mas, Malang 2006, halaman 105-106.
[15]Warren misalnya dalam argumen-argumen Purpose Driven Church-nya secara sadar ataupun tidak telah mengurangi penekanan yang seharunya mengenai doktrin Penghakiman, Kekudusan dan Pembenaran sementara ia dengan sangat serius focus pada pemahaman mengenai kebapaan kasih Allah dan menafsirkan Alkitab untuk mendukung Pendekatan Pencari Yang Peka (Seeker Sensitive Approach). Tentunya ini merupakan hermeneutika yang sangat berbahaya dan memiliki akibat buruk bagi perkembangan kehidupan gereja baik dalam penggembalaan, pemginjilan, ibadah, khotbah persekutuan, pemuridan dan pelayanan. Lihat uraian Kimon H. Sargeant, Seeker Churches (New Brunswick: Rutgers University Press, 2000), p. 93.
[16] David A Reed, Origins and Development of the Theology of “Oneness” Pentecostalism in the United States. Ann Arbor, Michigan: University Microfilms International, 1980, p. 108. Ajaran baru menjadi salah satu daya tarik untuk memuaskan keingintahuan manusia yang sebenarnya lebih banyak akibat merusaknya dari pada akibat baiknya. Gereja2 / persekutuan2 dalam pengaruh Jesus Only ini mempopulerkan adanya wahyu-wahyu baru yang mereka anggap diterima dari Tuhan dan orang Kristen harus menerimanya
[17] Perhimpunan gereja-gereja Pentakosta.
[18] Lihat juga Pdt. Yarman Halawa, Mencermati Gerakan Rohani Dalam Pengaruh Neo-Pentacostalism di Tengah Arus Post-Modernism (Surabaya: Sinode GKA, Buletin Sinode GKA Edisi XX Oktober 2009), halaman 8.
[19] Yang kemudian menghasilkan gerakan yang disebut sebagai Toronto Blessing yang dianggap sebagai lawatan Allah bagi gereja-Nya dan yang kemudian terbukti sama sekali tidak benar.
[20] Untuk memahami secara menyeluruh unsur-unsur Kharismatik dalam gerakan Pertumbuhan Gereja silahkan membaca buku C. Peter Wagner, Your Spiritual Gifts Can Help Your Church Grow – terjemahan Indonesia: Manfaat Karunia Roh untuk Pertumbuhan Gereja (Malang: Gandum Mas, 1987) dan Teritorial Spirits – terjemahan Indonesia: Roh-Roh Teritorial (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil “IMANUEL” 1994).
[21]Itu sebabnya apapun kadang dilakukan walaupun itu diluar dari kebiasaan yang seharusnya bagi sebuah ibadah rohani. Hal ini bisa dilihat dengan kebiasaan mengkombinasikan hal-hal yang bersifat entertainment didalam ibadah. Misalnya: artis / selebritis, sulap, dan sebagainya dijadikan sebagai daya tarik untuk menjangkau orang untuk datang.
[22] Lihat Pdt. Yarman Halawa, Mencermati Gerakan Rohani Dalam Pengaruh Neo-Pentacostalism di Tengah Arus Post-Modernism. Halaman 9-10, 35. Pokok-pokok ini memerlukan uraian dan penjelasan tersendiri.
[23] Itu sebabnya banyak model Pertumbuhan Gereja pada hari ini selalu mengidentifikasikan dirinya dengan peristiwa-peristiwa besar Pertumbuhan Gereja pasca Pentakosta didalam Perjanjian Baru, misalnya pertambahan massal para petobat baru kedalam komunitas orang percaya didalam kitab Kisah Para Rasul.
[24] Sesuai perintah Tuhan Yesus didalam Kisah Para Rasul 1:8.
[25]Edict Milan (Edictum Mediolanense) adalah maklumat yang ditandatangani oleh kaisar Konstantinus yang menjamin kebebasan agama di seluruh wilayah kekaisaran Romawi.
[26]Lihat Bruce L. Shelley, Church History In Plain Language . updated 2nd edition. (Nashville: Thomas Nelson Publishers, c 1995), p. 94, 96.
[27]Pola hidup “Kristen Nominal” yang mungkin diakibatkan oleh agaknya sekularisme, rasionalisme, materialism, dan berbagai factor lainnya.
[28] Peter Wagner, Gereja Saudara Dapat Bertumbuh. (Malang: Gandum Mas, 1990), halaman 13.
[29] Donald A. McGavran, The Bridges of God. Revised edition (World dominion Press, UK, 1981), p. 323.
[30] Lihat juga Donald McGavran, Understanding Church Growth (Grand Rapids: Wm B. Eerdmans, 1970), p. 23.
[31]Ibid. Halaman 18. Kecuali tentunya prinsipnya mengenai Kelompok Homogen (Homogeneous Unit Principle)” yang dikecam banyak pihak karena dianggap menjadi stempel bagi eksklusivisme budaya dalam gereja, kebijakan keanggotaan rasial dan bukannya strategi penjangkauan dalam penginjilan, ketika prinsip ini diterapkan dalam penginjilan lintas budaya (lihat halaman 71).
[32] McIntosh, Evaluating The Church Growth Movement. Halaman 19.
[33] Hal ini muncul melalui buku George Barna Marketing the Church (Lihat McIntosh, Evaluating The Church Growth Movement. Halaman 26. Maka tidak mengherankan juga bila pada akhirnya kita mendapati bahwa di seminari-seminari tertentu muncul mata kuliah Church Marketing yang merupakan pengaruh dari konsep ini.
[35] Silakan membaca buku Evaluating The Church Growth Movement. Buku ini menguraikan mengenai 5 macam pandangan evaluatif terhadap Gerakan Pertumbuhan Gereja: 1. Pandangan Penginjilan Efektif oleh Elmer Towns, 2. Injil dan Budaya Kita oleh Craig Van Gelder, 3. Pandangan Sentris oleh Charles Van Engen, 4). Pandangan Pihak Reformis oleh Gailyn Van Rheenen, dan 5) Pandangan Pembaharuan oleh Howard Snyder. Yang bila diringkaskan akan mengerucut kepada pandangan Pertumbuhan Gereja dari Kaum Injili dan pandangan Pertumbuhan Gereja dari Kaum Ekumenikal.
[36] Yang kemudian menghasilkan gerakan yang disebut sebagai Toronto Blessing yang dianggap sebagai lawatan Allah bagi gereja-Nya dan yang kemudian terbukti sama sekali tidak benar.
[38] Lihat McIntosh, Evaluating The Church Growth Movement. Halaman 72-74.
[39] McGavran, Understanding Church Growth. P. 32. McGavran berkata bahwa “a principle and irreplaceable purpose of mission is the (numerical) growth of the church.”
[40]Misalnya: Matius 5:16; 9:37-38; 10:1-40; 13:1-8, 18-23, 31, 47; Markus 1:17; 4:1-8, 13-20; Lukas 8:5-8, 11-15; 10:2; Yohanes 8:12; 9:5; 14:21-24; 15:5, 8; Roma 8:15; 1 Korintus 3:9-11; Efesus 1:5; 2:22; 4:14; 1 Petrus 2:2, 4.
[41] Rick Warren, Pertumbuhan Gereja Masa Kini. (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1999), p. 291.
[43] Lihat Ralph D. Winter in Crucial Issues in Mission Tomorrow, ed. Donald McGavran (Chicago: Moody Press, 1972), pp. 178-187.
[44]George W. Peters, A Theology of Church Growth (Grand Rapids: Zondervan Pub. House, 1981), p. 23.
[45]Salah satu dari banyak contoh yang bisa disajikan: Perhatikan bagaimana Rick Warren, promotor utama yang “berhasil” melalui model Pertumbuhan Gereja The Purpose Driven Church ketika menginterpretasikan perkataan Yesus “Apa yang engkau ingin Aku lakukan bagimu?” sebagai bentuk pendekatan Yesus kepada orang banyak untuk mendapatkan pemahaman mengenai apa yang mereka butuhkan. Warren percaya bahwa Yesus telah menemukan “kunci” kesuksesan untuk membawa mereka kepada keselamatan. Konklusi logis dan psikologisnya adalah (menurut Warren), “setiap orang dapat dimenangkan bagi Kristus jika anda mengetahui apa kunci untuk membuka hatinya.” Lihat Rick Warren, The Purpose Driven Church (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1995), p. 220 atau terjemahan Indonesia: Pertumbuhan Gereja Masa Kini (Malang: Gandum Mas, 2004), halaman 226.
[46] Lihat John R.W. Stott, Christian Mission in the Modern World (Illinois: IVP, 1979), p. 18-19. Stott mengaskan bahwa seharusnya misi Kristen tidak bertujuan untuk kompromi dan menjadi alat untuk kepenting manusia.
[47] Sehingga pada akhirnya segala sesuatu bergantung pada selera manusia: khotbah-khotbah dan pengajaran harus disesuaikan dengan level kenyamanan pendengar, para gembala atau hamba-hamba Tuhan harus menghindari “khotbah yang menegur dosa” dan seterusnya (bandingkan hal ini dengan apa yang dikatakan oleh rasul Paulus dalam 2 Timotius 4:3-4!)
[48] Gary L. McIntosh, Evaluating The Church Growth Movement. p.64
[49] Kisah Para Rasul 2:47.
[51]Lihat juga Michael Scott Norton, Mission Accomplished. (Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1986), p. 102. Norton menegaskan bahwa dalam setiap upaya pekabaran Injil untuk menjangkau orang bagi Tuhan harus selalu diingat bahwa Dialah yang Empunya tuaian dan bukan kita. Ia berdaulat dalam setiap rencana, tujuan dan hasil dari pekabaran Injil yang kita lakukan sehingga setiap upaya pekabaran Injil harus ditempatkan dalam pengertian yang benar sebagai “kuasa Allah yang menyelamatkan.”