BERKHOTBAH DI TENGAH ZAMAN KONTEMPORER[1]
Oleh Pdt. Yarman Halawa, D.Min
Batasan pengertian Yang dimaksud dengan istilah ‘kontemporer’ dalam makalah ini adalah “kecenderungan zaman modern masa kini yang dipenuhi dengan berbagai kondisi dan berbagai gagasan baru yang bersifat temporal.”[2] Berdasarkan ini maka makalah ini bertujuan untuk mengundang setiap pembaca khususnya para penyampai Firman Tuhan untuk tetap setia, cermat dan memelihara kemurnian isi kebenaran Firman ditengah berbagai arus dan tantangan zaman modern masa kini.
|
PENDAHULUAN
Bagaimana caranya seorang pengkhotbah menghadirkan berita-berita religius secara khusus yang kental dengan pemikiran-pemikiran jaman kuno untuk menjadi relevan dengan konteks masa kini (kontemporer)?[3] Ini merupakan pertanyaan yang serius yang harus dapat dijawab oleh setiap penyampai firman kebenaran. Dunia kontemporer memberi tantangan tersendiri khususnya dalam melaksanakan tugas dan panggilan penyampaian dari Firman Allah yang pada hakekatnya tidak pernah berubah dan tidak mengenal kompromi dengan segala kondisi dan gagasan baru yang bersifat temporal yang mempengaruhi kehidupan manusia masa kini.
Patut diingat bahwa sebenarnya dilema yang dihadapi oleh gereja sehubungan dengan tugas penyampaian Firman Tuhan pada hari ini bukanlah sesuatu yang baru. Dalam setiap era didalam sejarah yang ditandai dengan perubahan waktu, ide-ide dan kebiasaan-kebiasaan manusia, penyampaian Firman Tuhan mengalami tantangan tersendiri khususnya bagi para penyampai Firman Tuhan itu sendiri. Namun kita patut bersyukur kepada Allah yang Empunya Firman bahwa didalam setiap era tersebut umat Allah yang sejati senantiasa dikaruniakan kemampuan yang lebih dari cukup untuk dapat terus mengkomunikasikan Firman Allah tanpa mengkompromikan kebenarannya.
Memang banyak orang yang mulai mempertanyakan relevansi khotbah dalam zaman kontemporer ini. Sebagian orang malah menganggap khotbah tidaklah lebih sebagai ‘gaung masa lalu yang sudah ditinggalkan’[4] atau dengan kata lain sudah tidak lagi up to date. Sikap ini seringkali mempengaruhi orang-orang percaya secara psikologis terutama para penyampai Firman kebenaran sehingga berupaya menciptakan atau mengikuti berbagai metode dan gaya penyampaian firman yang “baru” atau yang sesuai dengan gaya hidup, keinginan, dan harapan orang masa kini. Justru ini sangat berbahaya oleh karena pada akhirnya justru ‘berita’ yang seharusnya menjadi sentral dalam khotbah digantikan oleh hal-hal yang bersifat artificial yang seharusnya berada ditempat paling bawah.[5] John Stott mengomentari keadaan ini sebagai strategi Iblis untuk mematahkan dan melemahkan pekerjaan penyampaian Firman untuk mencapai hasil gemilang:
“As a result of which he (devil) has won a strategic victory. Not only has he effectively silenced some preachers, but he has also demoralized those who continue to preach. They go to their pulpits ‘as men who have lost their battle before they start; the ground of conviction has slipped from under their feet.”[6]
PENGKHOTBAH, BERITA KHOTBAH DAN PERTUMBUHAN GEREJA[7]
Bila khotbah tidak diletakkan sebagai bagian yang utama dari kehidupan bergereja, maka gereja pasti akan kehilangan hartanya yang paling berharga yang menjadi sumber otoritas dan otentitasnya. Tidaklah berlebihan bila reformator Martin Luther pernah berkata bahwa harta gereja yang sebenarnya adalah Injil yang Mahasuci tentang kemuliaan dan kemurahan Allah.[8]
Dalam sejarahnya, eksistensi dan pertumbuhan gereja tidak pernah terlepas dari pemberitaan Firman. Sejarah gereja mencatat bahwa khotbah selalu mendominasi kehidupan gereja.[9] Atau dengan kata lain, tanpa pemberitaan Firman yang benar maka gereja tidak akan pernah mengalami pertumbuhan yang benar pula dan pasti akan kehilangan arah.[10] Kecenderungan gereja pada hari ini yang mengutamakan bagian-bagian dalam ibadah seperti puji-pujian lebih dari pada khotbah harus dihindari. Gereja bertumbuh bukan karena musik atau puji-pujian yang dahsyat sekalipun tetapi oleh pemberitaan Firman Tuhan yang benar dan bertanggungjawab.[11] Dengan demikian, khotbah selalu menjadi prioritas dari pelayanan guna pertumbuhan gereja Tuhan yang benar dan sehat seturut ajaran Alkitab sebagaimana telah dilakukan oleh para rasul pada zaman mereka.[12]
Pemberitaan Firman menjadi begitu penting dan sentral bagi kehidupan bergereja yang sehat. Tidak lagi diragukan bahwa Alkitab memandang bahwa para pemberita Firman memiliki peran yang penting didalam rencana Allah untuk membawa gereja mengalami pertumbuhan yang benar kepada-Nya. Rasul Paulus menuliskan,
“Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? Seperti ada tertulis: “Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!”[13]
Dalam pengertian ini maka pemberitaan Firman harus terus-menerus memperkenalkan, menegaskan dan mengarahkan gereja untuk bertumbuh kepada segenap karya Allah seperti penyelamatan dalam Yesus Kristus, kebaikan Allah, keadilan Allah dan seterusnya. Bahkan harus terus diberitakan didalam segala situasi, baik atau tidak baik waktunya.[14] Ditengah tantangan dunia kontemporer para pemberita Firman dipanggil untuk setia dalam mempertumbuhkan gereja kepada kebenaran yang murni dan tidak boleh dihentikan oleh alasan apapun juga. Para tokoh gereja baik yang hidup sebelum maupun sesudah zaman Reformasi, begitu memandang tinggi dan mengutamakan Firman Tuhan. John Wycliffe mengatakan bahwa tugas utama pendeta adalah berkhotbah.[15] Bagi Calvin, disamping Sakramen, Firman Allah yang dikhotbahkan dengan murni dan didengar, menjadikan gereja milik Allah itu tetap eksis.[16] Demikian juga Luther meyakini bahwa apa yang ia lakukan yakni membuka zaman Reformasi yang begitu penting bagi dunia kekristenan sebagai karya Firman.[17]
Tidak dapat diragukan lagi bahwa kekristenan dan gereja tidak akan ada tanpa kehadiran Firman. Tugas utama dari para hamba Tuhan adalah menghadirkan Firman, sehingga berkhotbah akan senantiasa menjadi bagian yang amat penting dari tugas panggilan hamba Tuhan. Ini harus tetap menjadi perhatian serius ditengah zaman kontemporer ini. Persoalannya adalah: “Khotbah macam apa yang dihadirkannya didalam gereja? Apakah khotbah yang tetap setia kepada kebenaran-kebenaran yang murni dari Alkitab atau kepada apa yang manusia kontemporer anggap sesuai, cocok, dan up to date dengan keinginan dan kemauan mereka?[18] Apakah khotbah yang disampaikan benar-benar bertanggungjawab, didasari oleh keyakinan yang absolut terhadap kebenaran absolut Firman? Apakah kemampuan berkhotbah lebih digantungkan kepada kepiawaian artificial atau bergantung kepada Allah dengan mengandalkan Roh Kudus-Nya?”
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka beberapa pemikiran berikut ini perlu menjadi pertimbangan penting:
1. Sola Scriptura
Rasul Paulus menegaskan kepada hamba Tuhan bernama Timotius agar “memberitakan Firman.”[19] Dengan kata lain bahwa yang diberitakan dalam khotbah adalah Firman Tuhan. dan ini harus dilakukan dengan setia dan penuh tanggungjawab. Hal ini sangat jelas terlihat dari penekanan yang bukan berbentuk permintaan melainkan berbentuk perintah kepada Timotius. Hal ini patut kita camkan dalam pelayanan kita ditengah zaman kontemporer ini.
Prinsip formal Reformasi adalah Sola Scriptura dimana Reformator gereja menampakkan otoritas ekslusif dari Alkitab atas semua opini, tradisi, dan produk-produk kontemporer masa itu yang mempengaruhi dan bahkan menguasai gereja, dan memanggil gereja untuk berkomitmen kepada Sola Scriptura. Firman Allah menjadi satu-satunya pedoman pembimbing dalam mempermuliakan serta memperkenankan Allah.[20] Dengan demikian implikasi praktisnya adalah bahwa Firman Allah harus diletakkan ditempat yang tertinggi dan tidak boleh digantikan oleh yang lain-lain, baik itu berupa kharisma, pribadi, popularitas, kemampuan berbicara, intelektualitas dan opini pribadi, filsofi-filosofi yang sifatnya humanis maupun produk-produk canggih dari zaman kontemporer yang ada.[21] Senada dengan ini, Sydney Greidanus menggarisbawahi kebenaran ini dengan mengatakan,
“Accordingly, if preachers wish to preach with divine authority, they must proclaim the message of the inspired Scriptures, for Scriptures alone are the Word of God written: the Scriptures alone have divine authority. If preachers wish to preach with divine authority, they must submit themselves, their thoughts and opinions, to the Scriptures and echo the Word of God.”[22]
Dalam terang Sola Scriptura inilah, setiap pemberita Firman harus mampu memelihara dan terus-menerus menunjukkan integritasnya terhadap berita yang disampaikannya. John Calvin menegaskan,
“Maka marilah kita tetapkan ini sebagai suatu azas yang pasti, yaitu hendaklah tidak ada didalam gereja yang dipandang dan diberi tempat sebagai firman Allah kecuali apa yang tercantum didalam Taurat dan kitab-kitab para nabi, dan selanjutnya didalam tulisan-tulisan para rasul; dan hendaklah tidak ada cara lain untuk memberi ajaran dengan sah didalam gereja, kecuali sesuai dengan perintah dan pedoman firman itu.”[23]
2. Truth (Kebenaran)
Berkhotbah adalah memberitakan kebenaran, dimana pemberita Firman bukan membawakan kebenaran yang berasal dari dirinya sendiri. Seorang Pengkhotbah berkewajiban mutlak untuk menyampaikan kepada pendengarnya sebuah gambar yang lebih besar tentang Allah (Theocentric / Christosentric). Berkaitan dengan pelayanan mimbar rasul Paulus menegaskan:
“Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus.”[24]
Oleh sebab itu perlu senantiasa menanyakan kepada diri sendiri hal-hal seperti: Apakah khotbah yang saya sampaikan memperkenalkan dan meninggikan Allah terus-menerus? Apakah khotbah yang saya sampaikan dibangun diatas dasar disiplin pengajaran dan teologia yang benar atau tidak? Apakah saya menyampaikan khotbah dengan hati yang tulus? Apakah ada hal-hal terselubung disana seperti ingin memamerkan pengetahuan, mengungkapkan kekecewaan atau kemarahan yang dikemas dalam khotbah? Bagaimana dengan ilustrasi yang disisipkan dalam khotbah, apakah itu pengalaman orang lain yang diakui sebagai seolah-olah pengalaman sendiri? Apakah cerita yang disampaikan berupa fakta atau karangan sendiri? Semua ini harus jelas asal-usulnya dan tidak boleh dimanipulasi. Apakah khotbah yang disampaikan disiapkan secara murni dan digumulkan sungguh-sungguh hingga pemberitaannya atau tidak? Apakah khotbah yang disampaikan menantang pendengar untuk kembali kepada kebenaran yang sejati?
Pada hari ini kita para pengkhotbah banyak disuguhi aneka macam metode, gaya dan strategi bagaimana menjadi pengkhotbah yang sukses,[25] namun kehilangan esensi penting dari sebuah panggilan Allah untuk setia memberitakan firman-Nya ditengah dunia yang selalu berubah-ubah dan tidak menentu dengan kecenderungan utama terhadap kebergantungan kepada hal-hal yang bersifat sementara.
Berkaitan dengan truth (kebenaran) yang mewarnai pelayanan khotbah; maka, setiap pemberita Firman harus mengingat beberapa hal berikut ini:
Pertama, seorang pengkhotbah berkewajiban mutlak untuk melatih pendengarnya kembali kepada kebenaran-kebenaran Alkitab dalam menghadapi berbagai asam garam kehidupan mereka. Paulus menegaskan,
“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”[26]
Seorang pengkhotbah juga harus berkeyakinan teguh bahwa Firman Allah sanggup meyakinkan umat Allah yang sejati untuk tetap berpegang teguh kepada kebenaran. Oleh sebab itu seorang pengkhotbah yang berdiri dalam kebenaran berkewajiban penuh untuk berupaya sekuat tenaga untuk menunjukkan kepada pendengarnya bagaimana membaca, mempelajari dan memegang ajaran kebenaran Alkitab bagi kehidupan mereka.
“Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu.”[27]
Selain itu, seorang pengkhotbah berkewajiban mutlak untuk mengajarkan seluruh bagian Alkitab dan menunjukkan betapa unik dan ajaibnya setiap kebenaran yang didapat darinya. Sekaligus harus menantang pendengarnya memberi respon untuk hidup dalam penghayatan nyata terhadap kebenaran yang disampaikan kepada mereka sebagaiman Alkitab sendiri tegaskan,
“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.”[28]
Sehingga pada akhirnya setiap orang yang mendengar pemberitaan Firman -dalam hal ini tentunya juga termasuk yang menyampaikan atau si pemberita Firman- akan senantiasa menghayati secara nyata kebenaran Alkitab yang ‘kuno’ namun merupakan kebutuhan yang amat penting ditengah zaman kontemporer ini bagi kehidupannya:
“Perhatikanlah segala perkataan yang kuperingatkan kepadamu pada hari ini, supaya kamu memerintahkannya kepada anak-anakmu untuk melakukan dengan setia segala perkataan hukum Taurat ini. Sebab perkataan ini bukanlah perkataan hampa bagimu, tetapi itulah hidupmu …”[29]
3. Kebutuhan (Needs)
Tidak dapat dipungkiri bahwa berita Injil kebenaran adalah berita kesukaan, dan oleh sebab itu berita yang disampaikan harus membawa kesukaan yakni kesukaan yang utuh, bukan kesukaan yang memanjakan, yang kompromi dengan zaman atau keinginan para pendengar semata-mata, karena hal ini justru akan mencelakakan. Maka khotbah yang menjawab tantangan zaman kontemporer hari ini tidak boleh hanya disusun di atas meja saja tetapi juga harus melalui pengamatan dan pendekatan, sehingga sungguh-sungguh menyentuh kebutuhan nyata jemaat. Inilah yang dimaksudkan dengan khotbah yang relevan. Apabila kita perhatikan, para pengkhotbah yang dipakai Tuhan secara luarbiasa pada zamannya selalu berbicara mengenai kebutuhan manusia, termasuk problema dari kehidupan para pendengar mereka.[30] Dengan demikian khotbah menjadi hadir secara nyata ditengah-tengah pendengarnya.[31]
Secara sederhana, kebutuhan pendengar terhadap berita firman dapat dikategorikan dalam 2 kelompok yakni kebutuhan dasar (bersifat materi) dan kebutuhan pertumbuhan (yang bersifat non-materi):[32]
a. Kebutuhan dasar yang mencakup fisik dan jaminan keamanan.
b. Kebutuhan pertumbuhan yang mencakup kasih, harga diri dan aktualisasi diri, dimana aktualisasi diri meliputi kebenaran, kebaikan, keadilan, ketaraturan dan sebagainya.
Kedua kelompok kebutuhan ini perlu menjadi pertimbangan dalam khotbah, dimana penekanan yang terutama / terpenting adalah pada kebutuhan akan pertumbuhan yang bertujuan membawa pendengar kepada aktualisasi diri yang akan memperlihatkan dengan jelas kedewasaan kristiani dari para pendengar yang nyata melalui makna yang mereka berikan dalam kehidupan bergereja / berjemaat.
Disamping itu berita Firman tidak boleh kontroversial dalam arti tidak memperhatikan problem yang sedang dihadapi oleh jemaat. Contoh: penyampaian khotbah dengan topik “seluruh muka bumi dipenuhi kemuliaan-Nya”[33] padahal kenyataan sedang terjadi banjir bandang yang menghancurkan dan menewaskan begitu banyak orang, atau gunung Merapi yang meletus yang mengakibatkan kesedihan yang luarbiasa atau bencana gempa Tsunami yang menyisakan kepedihan yang amat dalam. Topik “pemeliharaan Allah yang ajaib” sementara kenyataannya ada diantara mereka yang sedang menjalani kehidupan yang buruk, seperti sakit tumor yang parah atau kanker ganas. Atau misalnya topik “Berdua lebih baik daripada seorang diri” dalam momen pemberkatan pernikahan yang disampaikan dengan kurang mempertimbangkan perasaan dari mereka yang hidup sendiri, yang entah karena tidak mau menikah atau karena kesulitan mendapatkan teman hidup yang dianggap sesuai.
Untuk menjadikan sebuah khotbah tetap relevan dan berbicara kuat dalam ranah kehidupan jemaat yang serba kompleks pada hari ini; maka, pemberita Firman harus sungguh-sungguh mengenal jemaat yang dilayaninya. Untuk memenuhi hal ini seorang pemberita Firman kebenaran dapat mengenali kebutuhan-kebutuhan mereka melalui sharing tentang pengharapan dan ketakutan, kegelisahan atau kekhawatiran mereka, kesuksesan dan kegagalan, kesukaan dan kesedihan, kepahitan dan aspirasi dari umat yang dilayaninya.
Patut diingat bahwa hamba Tuhan yang menjadi gembala lebih mengetahui kebutuhan dari anggota jemaat dari pada hamba Tuhan tamu. Dalam kaitan dengan inilah Rasul Paulus sendiri menganggap hubungannya dengan anggota jemaat seperti hubungan seorang ibu dengan anaknya. Kepada jemaat Tuhan di Tesalonika ia berkata,
“Tapi kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya.”[34]
Bila seorang ibu berkewajiban dalam menyusui bayinya; maka, demikian juga seorang hamba Tuhan yang bertanggung-jawab, akan memandang bahwa “berkhotbah” adalah tugas yang sangat penting, sehingga ia tidak akan dengan mudah dan sembarangan menyerahkan tugas mimbar kepada orang lain. Ia akan secara sistematis berdasarkan kebenaran Alkitab dan sesuai dengan kebutuhan mengajar dan membina para anggota jemaatnya.
INTEGRITAS DIRI SEORANG PENGKHOTBAH
Berikut ini adalah beberapa uraian sederhana yang berkaitan dengan integritas diri seorang pemberita Firman dalam berkhotbah ditengah zaman kontemporer ini:
Setia Kepada Alkitab
Seorang pemberita Firman yang bertanggungjawab akan senantiasa menyadari bahwa Alkitab adalah satu-satunya buku yang dapat menjadi sumber khotbahnya. Ia melihat bahwa hanya Alkitab yang memiliki otoritas ilahi. Oleh sebab itu, ia hanya akan mengkhotbahkan apa yang tertulis dan yang dikatakan dalam Alkitab. Dengan menjadikan Alkitab sebagai sumber khotbahnya, maka ia telah menempatkan Alkitab sebagai sumber otoritasnya dan ia akan memiliki otoritas ilahi di dalam khotbahnya.
Berita Firman dibangun diatas dasar filosofi bahwa Alkitab menjadi sumber khotbah dan oleh sebab itu, pengkhotbah wajib menguraikan arti teks tersebut di sepanjang zaman. Alasannya, pengkhotbah bukan berkhotbah dengan otoritasnya, tetapi dengan otoritas Allah. Oleh sebab
itu, ia harus dan hanya mengkhotbahkan firman Allah sebagai berita khotbahnya.[35] Haddon W. Robinson mengatakan,
“. . . the preacher speaks with an authority not his own, and the man in the pew will have a better chance to hear God speak to him directly.”[36]
Dalam kaitan dengan teks Alkitab yang menjadi bahan khotbahnya, seorang pengkhotbah harus tetap menguraikan teks Alkitab yang menjadi dasar khotbahnya, entah apakah teks itu panjang atau pendek. Dalam pengertian ini, maka seorang pengkhotbah dapat mengkhotbahkan suatu ayat (yang menurut beberapa ahli disebut sebagai khotbah tekstual). Seorang pengkhotbah dapat mengkhotbahkan suatu perikop Alkitab (yang juga sering disebut sebagai khotbah ekspositori). Ia juga dapat mengkhotbahkan topik-topik tertentu (yang disebut sebagai khotbah topical), khususnya yang berkaitan dengan doktrin Kristen, dan seterusnya.
Bersandar dan Mengakui Kuasa Roh Kudus
Seorang pemberita Firman yang benar akan semakin bersandar pada kuasa Roh Kudus. Para pengkhotbah yang menyampaikan berita Alkitab akan menyadari bahwa ia memerlukan kuasa Roh Kudus agar jemaat bisa mengerti apa yang menjadi berita dari Allah untuk umat-Nya. Ia menyadari bahwa kuasa manusia tidak akan dapat membuat manusia lain tunduk pada kebenaran Allah. Hanya Roh Kudus yang dapat membuat manusia melihat Allah. Oleh sebab itu, para pengkhotbah harus bergantung dan bersandar kepada kuasa Roh Kudus. Tanpa kuasa Roh Kudus, tidak akan ada nilai kekal yang tercapai walaupun mungkin ada banyak orang yang mengagumi daya persuasi, menikmati ilustrasi khotbah atau belajar doktrin dari sang pengkhotbah.[37] Hal ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan konsep mimbar seorang pengkhotbah. John Piper mengatakan bahwa seorang pengkhotbah perlu menyadari dan mengakui trinitarian khotbah, yaitu tujuan khotbah adalah kemuliaan Allah, berita khotbah adalah salib Kristus, dan kuasa khotbah adalah kuasa Roh Kudus.[38]
Peran Roh Kudus dalam berita Firman sangatlah penting dan menjadi kunci pemberitaan Firman yang efektif oleh karena Ia mengajar apa yang Yesus katakan (Yohanes 14:24), menghibur, menginsyafkan tentang dosa dan kebenaran (Yohanes 16:7,8), menolong umat yang dalam kelemahan (Roma 8:26), menguatkan (Efesus 3:14-16), memberi dorongan pemberitaan Firman dan berdoa (Kisah Para Rasul 6:10; 1 Kor 2:13; 2 Korintus 4:13), dan seterusnya. Tidak ada satu khotbahpun yang dianggap layak dihadapan Allah bila tanpa intervensi dari kuasa Roh Kudus. Pierre Ch. Marcel benar ketika menegaskan bahwa,
“Preaching, which is, properly speaking, the word preached, depends entirely on the Spirit…if the Spirit is absent, there is, in a manner of speaking, a sermon, but no preaching. The word of God will not be heard, but a word of man, dead, and therefore irrelevance.”[39]
Dengan demikian, seorang pengkhotbah akan menyadari bahwa tugasnya hanyalah sebagai juru bicara Allah. Jika khotbahnya membawa seseorang berbalik kepada Allah, ia harus menyadari bahwa bukan dirinya sendiri yang membuat orang-orang tersebut bertobat. Mereka percaya karena Roh Kudus bekerja di dalam hati mereka.[40] Namun, seorang pengkhotbah juga tidak akan berkecil hati jika ia tidak melihat hasil apapun dari khotbahnya. Ia tahu bahwa hanya Roh Kudus yang membuat seseorang berbalik kepada Allah. Ia akan tetap setia melakukan tugasnya sebagai pengkhotbah.[41]
Menghormati Jabatan Sebagai Pemberita Firman
Mantan pendeta yang telah melayani selama 30 tahun di Westminster Chapel, Inggris, Dr. Martyn Llyod-Jones, pernah mengatakan demikian,
“Menurut hematku, ‘berkhotbah’ adalah jabatan yang paling agung dan mulia dari semua jabatan yang ada. Jika anda mau lebih mengetahui hal ini, maka aku tanpa ragu-ragu mengatakan bahwa kebutuhan yang mendesak dari gereja-gereja Kristen adalah khotbah yang benar dan sejati.” (Lebih lanjut ia mengatakan), “Pekerjaan ‘penyampaian Firman’ tidak dapat dibandingkan dengan pekerjaan apapun yang lain. Berkhotbah adalah pekerjaan yang terbesar, yang patut digandrungi, yang patut dipuji, yang patut dikerjakan dan pekerjaan yang paling ajaib.”[42]
Perkataannya tersebut diatas membuktikan betapa seorang pemberita Firman (yakni seorang hamba Tuhan dengan panggilan yang jelas), adalah seorang yang berdiri diantara Allah dan manusia, dan oleh sebab itu seyogyanyalah bila ia menunjukkan kesungguhan sikap di hadapan Allah. Jika ia mengetahui bahwa dirinya adalah juru bicara Allah dan bertanggung- jawab terhadap Allah, maka ia tidak akan berani bersikap melecehkan tugas khotbah yang sangat kudus itu. Ia tentu saja juga tidak akan berani menganggap “berkhotbah” sebagai satu “pekerjaan”, sehingga dirinya disebut tidak lebih sebagai seorang “tukang khotbah” entah dalam pengertian professional atau amatiran. Melainkan ia akan sungguh berjuang dengan pertolongan Roh Kudus untuk menunjukkan kehidupan panggilan yang sepadan dengan jabatan itu. Martyn Llyod Jones mengingatkan demikian,
“Our lives should always be the first thing to speak: and if our lips speak more than our lives it will avail very little. So often the tragedy has been that people proclaim the gospel in words, but their whole life and demeanour has been a denial of it.”[43]
Justru seorang pemberita firman yang menghormati jabatan tersebut akan senantiasa dipenuhi melainkan dengan sikap yang gentar dan takut dihadapan Tuhan, karena dipenuhi dengan pergumulan dan perjuangan yang sungguh-sungguh untuk menjalani kebenaran Firman yang senantiasa ia sampaikan kepada jemaat yang mendengarnya.
Jiwa Yang Antusias Terhadap Kehidupan Para Pendengar
Seorang pemberita Firman kebenaran yang sesungguhnya akan benar-benar menyadari bahwa pada waktu ia berdiri di mimbar, ia sedang “mengurus’ masalah antara hidup kekal dan mati kekal, dan bahwa ia berdiri di antara orang yang hidup dan mati. Dr. Forsyth member penegasan terhadap kebenaran ini demikian,
“It is an act and a power: it is God’s act redemption…A true sermon is a real deed…The preacher’s word. When he preaches the gospel and not only delivers a sermon, is an effective deed, charged with blessing or with judgment.”[44]
Kesadaran ini akan membawa kepada suatu pengertian bahwa berkhotbah bukanlah hanya sekedar sesuatu yang sekedar disampaikan dari mimbar, melainkan menuntun kepada antusiasme yang amat sangat bagi kehidupan para pendengarnya dihadapan Allah. Oleh karena itu seorang pemberita Firman yang baik akan memiliki sikap yang terus terang didalam menyampaikan kebenaran-kebenaran yang Allah kehendaki diketahui dan direspon oleh para pendengar Firman-Nya. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi gereja, pelayanan dan terutama kehidupan rohani para pendengar Firman. Dengan demikian menghindarkan gereja atau orang percaya dari sikap yang mudah terombang-ambing oleh berbagai tawaran dari gerakan-gerakan rohani kontemporer yang menawarkan “solusi instant” bagi persoalan-persoalan kehidupan yang mereka alami. Gereja dan kehidupan jemaat menjadi kuat, sehat, dan tangguh dalam terang kebenaran Firman yang benar.
Gereja masa kini memerlukan para pemberitaan Firman yang utuh. Salah satu contoh praktis misalnya adalah ketika berbicara mengenai pengudusan (sanctification); maka, seorang pemberita Firman yang baik kan berterus terang menyampaikan bagaimana seharusnya orang-orang percaya yang sejati berjalan didalam kehidupan yang kudus, pelayanan, ketaatan, penyangkalan diri, sikap hidup yang takut akan Allah, kehidupan doa yang benar dan bagaimana seharusnya menjadi murid Kristus hidup didalam iman dan pertobatan yang sejati. Juga berbicara dengan terus terang mengenai kebenaran dari konsekwensi kekal dari kehidupan yang tidak memberi tempat bagi kebenaran Firman.[45]
Kesungguhan Didalam Belajar Makin Berkenan
Seorang pemberita Firman kebenaran harus senantiasa menuntut diri untuk terus maju dan meningkatkan kemampuannya. Memang didalam berkhotbah, kemampuan tidaklah menjadi pemeran utama atau sebagai penentu utama, namun tetap menjadi factor yang penting. Martin Lloyd-Jones mengatakan,
“As preaching means delivering the message of god in the way which he have described…it obviously demands a certain degree of intellect and ability. So if a man lacks a basic minimum in that respect, he is clearly not called to be a preacher.”[46]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seorang pemberita Firman kebenaran yang rindu khotbahnya mampu membangun dan memberi dorongan pada sidang jemaat yang dilayaninya, adalah tidak dapat mengabaikan usaha dalam merawat dan meningkatkan kemampuan intelektualnya.
Kesalahan banyak pengkhotbah -dan juga gereja dalam pengertian komunal- pada hari ini adalah kurangnya keinginan yang kuat dan komitmen untuk meng-upgrade kemampuan diri. Situasi dan kondisi ladang pelayanan sekali-kali tidak boleh menjadi alasan untuk tidak menuntut diri. Dalam pengertian ini, untuk makin berkenan dihadapan Tuhan dan agar kebenaran Firman makin nyata ditengah kehidupan bergereja; maka, seorang pemberita Firman dan termasuk jemaat yang dilayani harus makin bersungguh-sungguh didalam belajar meningkatkan kemampuan mengajar Firman dan kemampuan didalam menyerap kebenaran firman yang disampaikan. Disamping tentunya, rajin membaca Alkitab dan berdoa, rajin membaca buku-buku rohani yang bermutu tinggi[47] dan buku-buku lain yang dapat dipertanggungjawabkan yang dianggap bisa menambah wawasannya dan meningkatkan intelektualitasnya; seorang pemberita Firman juga perlu rajin berada ditengah jemaatnya[48] sehingga dengan demikian ia memperoleh pengetahuan tambahan yang bersifat praktis oleh karea ia mengetahui secara jelas kebutuhan rohani dari individu maupun keluarga anggota gerejanya.
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Berkhotbah ditengah zaman kontemporer ini merupakan tugas yang amat mulia bagi setiap pemberita Firman kebenaran. Ditengah dunia yang semakin tidak menentu dan kecenderungan untuk mengikuti kebinasaan yang ditawarkannya, para pemberita Firman kebenaran harus tetap berdiri memproklamasikan berita kebenaran yang bukan saja hanya berupa janji kehidupan kekal didalam Yesus Kristus Tuhan, tetapi juga memproklamasikan kehidupan yang penuh pengharapan, kekuatan dan kehidupan yang berani menghadapi realita masa kini dan masa depan bersama dengan Tuhan.
Oleh karena itu, setiap pengkhotbah patut menjaga kesetiaan untuk mengkhotbahkan Alkitab sebagai berita Allah yang tidak pernah berubah ditengah dunia dan peradaban manusia yang terus-menerus berubah. Dalam hal ini juga dituntut kesetiaan seorang pengkhotbah untuk menguraikan berita Alkitab dan mengkhotbahkannya tanpa mengkompromikannya dengan keinginan dan kehendak zaman ini. Patut juga diingat, kecenderungan untuk menjadikan Alkitab sebagai sesuatu yang tidak lebih dari pada “stempel pengesahan” dari suatu khotbah yang justru sama sekali tidak memproklamasikan apa yang menjadi kehendak Allah untuk ditaati dan dilaksanakan dalam kehidupan umat, harus dibuang jauh-jauh. Demikian juga, kecenderungan untuk menjadikan Alkitab sebagai sekedar dari sebuah “pendahuluan khotbah” saja, juga harus dibuang jauh-jauh.
Disamping itu, ditengah kompleksnya tantangan yang dihadapai dalam zaman kontemporer ini terhadap kehidupan Kristen, setiap pengkhotbah dipanggil untuk memiliki kesungguhan dalam berkhotbah. Ia adalah juru bicara Allah yang harus sungguh-sungguh mempersiapkan khotbah yang akan disampaikannya dengan selalu bersandar kepada kuasa Roh Kudus. Ia memikul tanggung jawab ilahi untuk menyampaikan berita ilahi, demi kepentingan ilahi dalam kehidupan umat-Nya. Dan oleh karenanya ia juga harus memiliki jiwa yang antusias terhadap mereka.
Dan terakhir, setiap kita patut menyadari bahwa berkhotbah ditengah zaman ini merupakan sebuah tugas yang yang mulia. Oleh karena itu setiap kita, para pengkhotbah, yang dipercaya untuk menjadi utusan-utusan Allah bagi misi-Nya ditengah dunia diingatkan sekali lagi untuk selalu memastikan bahwa pelaksanaan tugas yang diemban ini memberi dampak yang benar dan tepat baik pada masa sekarang ini, maupun pada yang akan datang hingga kekekalan. dan meskipun tidak semua pembawa berita Firman kebenaran dipanggil oleh Allah untuk menjadi pengkhotbah “besar,” semua pengkhotbah berita kebenaran dipanggil untuk mengkomunikasikan Firman dengan baik. Maka tidak ada jalan lain bagi kita selain dari pada senantiasa memastikan bahwa berita yang kita sampaikan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang hingga kedalam kekekalan.
Fides Quaeraens Intelectum
Daftar Referensi Pustaka
Allah, TUHAN, Alkitab.
Beeke, Joel R., Puritan Evangelism: A Biblical Approach. Grand Rapids: Reformation Heritage
Books, 1999.
Calvin, John Institutio. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983.
Comfort, Earl V., “Is the Pulpit a Factor in Church Growth” Bibliotheca Sacra 140/157, 1983.
Dale, Robert D., Pastoral Leadership. Nashville: Abingdon Press, 1986.
David Watson, I in Church (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1987), p. 199.
Forsyth, P.T., Positive Preaching and The Modern Mind. Independet Press, 1907.
Farm, Herbert H., The Servant of The Word. Philadelphia: Fortress, Press, 1964.
Greidanius, Sydney, The Modern Preacher and The Ancient text: Interpreting and Preaching
Biblical Literature. Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans Publishing Company, 1988.
Hornby, A.S., Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Oxford: Oxford
Univeristy Press, 1987.
Lloyd-Jones, D. Martyn, Preaching and Preachers. Grand Rapids: Zondervan, 1972.
Lloyd-Jones,Martyn, Studies in The Sermon on The Mount, Volume 1. Grand Rapids: Wm. B.
Eerdmans Publishing Company, 1959.
Massey, James Earl, The Sermon in Perspective: A Study of Communication and Charisma.
Grand rapids: Baker Book House, 1976.
Marcel, Pierre Ch., The Relevance of Preaching. Grand Rapids: Baker Book House, 1963.
Piper, John, The Supremacy of God in Preaching. Grand Rapids: Baker Book House, 1990.
Packer, J.I., Evangelism and Sovereignty of God. Downers Grove: Inter Varsity Press, 1961.
Robinson, Haddon W., Biblical Preaching: The Development and Delivery of Expository
Messages. Grand Rapids: Baker Book House, 1980.
Stott, John R.W., I Believe in Preaching. London: Hodder and Stoughton, 1982.
Williamson, G.I., Katekismus Singkat Westminster 1. Surabaya: Momentum / LRII, 1999.
Judul asli: The Shorter Catechism for Study Classes, volume 1 (New Jersey: Presbyterian and
Reformed Publishing Co., 1970).
Welsh, Clement, Preaching in a New Key. Philadelphia: A Pilgrim Book, 1974.
WordNet 3.0 © 2003-2008 Princeton University, Farlex Incorporation.
[1] Disampaikan dalam Seminar Khotbah Kontemporer, Wisma Santo Yohanes – Kediri, 17 November 2010 sebagai bagian dari program Departemen Pembinaan Sinode GKA.
[2]Lihat WordNet 3.0 © 2003-2008 Princeton University, Farlex Incorporation. Lihat juga A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Oxford: Oxford Univeristy Press, 1987), p. 184
[3]Saya memberi perhatian khusus dalam makalah ini terhadap posisi berita Firman yang disampaikan oleh seorang pengkhotbah dan bagaimana seorang pengkhotbah membawa berita pengajaran yang ‘kuno’ tetapi murni itu dapat tetap relevan dan terus-menerus menggarami dunia kontemporer saat ini tanpa menjadikan berita Firman itu sendiri kehilangan kebenaran esensinya atau di’telan’ oleh kondisi zaman masa kini.
[4]Clement Welsh, Preaching in a New Key (Philadelphia: A Pilgrim Book, 1974), p. 32.
[5]Misalnya: kharisma atau popularitas si penyampai firman, audiens, penampilan, style khotbah, suasana, peralatan pendukung/teknologi, dst. Harus diakui bahwa terkadang hal-hal ini juga “diperlukan” namun dalam pengertian sekali-kali tidak boleh disejajarkan dengan atau bahkan melampaui is dari berita Firman itu sendiri.
[6] John R.W. Stott, I Believe in Preaching (London: Hodder and Stoughton, 1982), p. 50.
[7] Disini penekanannya bukan pada metodologi tetapi kepada isi.
[8] Dalil ke-62 dari 95 dalili (tesis) yang dipakukan di pintu gereja Wittenberg di Jerman pada 31 Oktober 1517.
[9] D. Martyn Lloyd-Jones, Preaching and Preachers (Grand Rapids: Zondervan, 1972) 11.
[10] Earl V. Comfort, “Is the Pulpit a Factor in Church Growth” (Bibliotheca Sacra 140/157, 1983), 67.
[11] Lihat David Watson, I Believe in Church (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1987), p. 199. Watson menegaskan bahwa, “Although the birth of the church in Acts 2 began with praise, it continued with preaching.”
[12]Panggilan khusus yang diberikan kepada mereka adalah memberitakan Firman (Markus 3:14), setelah kebangkitan Yesus mereka di utus untuk memberitakan Injil kepada seluruh bangsa (Matius 28:19), pemberitaan Firman dilakukan dimana-mana (Markus 16:20), memberitakan Firman dengan penuh keberanian (Kisah Para Rasul 4:31).
[13] Roma 10:14-15
[14] 2 Timotius 4:1-2
[15] John Stott, I Believe in Preaching, p. 22.
[16] Ibid, p. 24.
[17] Ibid.
[18] Perhatikan 2 Timotius 4:3-5.
[19] 1 Timotius 4:2, “Beritakanlah Firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasehatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.”
[20] Lihat G.I. Williamson, Katekismus Singkat Westminster 1 (Surabaya: Momentum / LRII, 1999), hal. 7. Judul asli: The Shorter Catechism for Study Classes, volume 1 (New Jersey: Presbyterian and Reformed Publishing Co., 1970).
[21] Lihat James Earl Massey, The Sermon in Perspective: A Study of Communication and Charisma (Grand rapids: Baker Book House, 1976), p. 110.
[22] Sydney Greidanius, The Modern Preacher and The Ancient text: Interpreting and Preaching Biblical Literature (Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans Publishing Company, 1988), p. 913.
[23] Yohanes (John) Calvin, Institutio (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), h. 206.
[24] 2 Korintus 4:5
[25] Pengertian “sukses” ini lebih kearah hal-hal yang bersifat artificial, misalnya: kemampuan berbicara, daya tarik charisma, relasi, ukuran jumlah pendengar, dukungan teknologi, popularitas, income yang lumayan, mampu memuaskan selera pendengar, dan seterusnya.
[26] 2 Timotius 3:16-17
[27] 2 Timotius 2:15
[28] Yakobus 1:22
[29] Ulangan 32:46-47
[30] Beberapa contoh: Amos berbicara sesuai kebutuhan dan konteks masyarakat kuno Israel, rasul Petrus berbicara pada masyarakat di zaman Pentakosta sesuai kebutuhan mereka, Martin Luther berbicara pada zaman reformasi yang menjadi kebutuhan mereka.
[31] Lihat juga Herbert H. Farmer, The Servant of The Word (Philadelphia: Fortress, Press, 1964), p. 81.
[32]Berdasarkan pembagian kebutuhan dalam konteks pelayanan gerejawi yang dikemukakan oleh Robert D. Dale dalam bukunya Pastoral Leadership (Nashville: Abingdon Press, 1986) pp. 151-153.
[33] Yesaya 6:3
[34] 1 Tesalonika 2:7.
[35] Bukan psychology atau semacamnya yang sedang trend pada hari ini !!!
[36] Haddon W. Robinson, Biblical Preaching: The Development and Delivery of Expository Messages (Grand Rapids: Baker Book House, 1980), p. 58.
[37] John Piper, The Supremacy of God in Preaching (Grand Rapids: Baker Book House, 1990), p.39.
[38] Ibid, p. 19.
[39] Pierre Ch. Marcel, The Relevance of Preaching (Grand Rapids: Baker Book House, 1963), pp. 91, 94.
[40] J. I. Packer, Evangelism and Sovereignty of God (Downers Grove: Inter Varsity Press, 1961), p. 113.
[41] Ibid, p. 119.
[42] Martyn Lloyd-Jones, Preaching and Preachers (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1972), p. 33.
[43] Martyn Lloyd-Jones, Studies in The Sermon on The Mount, Volume 1 (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1959), p. 165.
[44] P.T. Forsyth, Positive Preaching and The Modern Mind (Independet Press, 1907), pp. 3,15,56.
[45] Joel R. Beeke, Puritan Evangelism: A Biblical Approach (Grand Rapids: Reformation Heritage Books, 1999), pp. 15-16.
[46] Martyn Lloyd-Jones, Preaching and Preachers, p. 111.
[47]Yang saya maksudkan dengan ‘bermutu tinggi’ disini adalah buku-buku bacaan rohani tersebut jelas ajaran dan dasar teologianya.
[48] Misalnya: perkunjungan, percakapan-percakapan dalam setiap kesempatan, dan sebagainya.