Gracia4Christ's Blog

Just another WordPress.com weblog

PRIA SEJATI: SEJATIKAH ? MEMBEDAH TEOLOGI DIBALIK GERAKAN PRIA SEJATI January 14, 2011

 

Oleh: Ev. Calvin Renata M.Div*

 

LATAR BELAKANG SINGKAT

CHRISTIAN MEN’S NETWORK adalah suatu gerakan yang dipelopori oleh seorang yang bernama Edwin Louis Cole (Ed Cole), di mana visi dari gerakan ini adalah menolong kaum pria untuk menjalani fungsi hidup sebagai suami dan ayah yang seharusnya. Gerakan ini muncul di USA pada kurang lebih tahun 1980-1982 an dan masuk ke Indonesia pada tahun 1999. Dibalik segala fenomena yang ada, adalah penting bagi kita untuk mengenali bukan hanya dampaknya bagi gereja-gereja di Indonesia, tetapi juga mengenali teologi dibalik ajaran yang dikenal dengan nama “Pria Sejati” ini.

Untuk itu hal pertama yang harus kita kenali adalah tokoh dibalik gerakan ini dan apa yang ia pahami tentang iman Kristen. Pembahasan dalam makalah ini difokuskan bukan kepada aktivitas camp, tokoh-tokoh gereja yang terlibat, pembicara-pembicara camp melainkan kepada Edwin Louis Cole dan apa yang ia tulis dalam kedua bukunya yaitu Menjadi Pria Sejati dan Kesempurnaan Seorang Pria.

 

EDWIN LOUIS COLE : NABI ALLAH DI TENGAH JAMAN INI ? (1)

Cole dilahirkan di Dallas, Texas, USA. Lahir tahun 1922 dan meninggal 27 Agustus 2007. Cole tinggal di Dallas dengan ibunya sampai umur 4 tahun. Berjangkitnya penyakit Scarlet Fever mengharuskan mereka pindah ke L.A, California. Di sana ia sekolah di Belmont High School di pusat kota L.A. Pada masa perang dunia II ia mendaftarkan diri sebagai pasukan penjaga pantai, di mana ia menemukan Nancy Corbette, sesama sukarelawan yang kemudian
menjadi istrinya. Cole aktif dalam street witnessing (kesaksian di jalan), dan dua tahun kemudian ia menjadi pastor di sebuah gereja di California Utara.

Karir rohaninya dimulai sebagai pelayan khusus kaum pria. Ia menjalani dua dekade hidupnya sebagai pekerja rohani termasuk mission trip, penginjilan dan pembicara di TV. Tahun 1977 ia mendirikan Christian Men’s Network sambil tetap melayani sebagai pembicara di dua stasiun TV Kristen. Tahun 1984, ia keluar dan memfokuskan diri pada pelayanan pribadinya. Tahun 1993 ia dan istrinya kembali ke Texas untuk melayani di sana dan tahun 2002 ia divonis mengidap kanker serta meninggal pada tahun yang sama.

Visi yang mulia dan berdedikasi, tapi bila tidak didukung oleh pengenalan terhadap
kebenaran dan dasar Firman yang kuat hanya akan membawa kepada kesalahan demi kesalahan bahkan kepada kesesatan. Hal pertama yang harus kita perhatikan dalam buku-bukunya, Cole tidak pernah disebutkan mengenyam pendidikan teologia di seminari tertentu. Seorang hamba Tuhan dituntut untuk mempunyai dasar dan pemahaman tentang Alkitab sebelum dia melayani. Bahkan dalam judul-judul bukunya tidak dituliskan gelar akademis yang ia miliki. Memang gelar bukan segalanya, tetapi ini menunjukkan kompentensi dan kapabilitas seseorang dalam menulis dan berbicara.(2) Bagi saya hanya ada dua kemungkinan. Pertama, Cole seorang yang sangat rendah hati sehingga ia tidak mau menyebutkan di mana ia sekolah Alkitab dan gelar akademis yang ia miliki.(3) Kedua, memang ia tidak pernah sekolah Alkitab sehingga tidak ada yang perlu dituliskan dalam biografinya. Dari dua kemungkinan ini, jika dilihat dari apa yang ia jabarkan tentang pengajarannya lebih menunjuk pada kemungkinan yang kedua, yaitu bahwa Cole tidak pernah mengenyam pendidikan teologi, sehingga ia tidak memahami Firman Tuhan dan kebenarannya dengan utuh. Namun ironisnya, banyak Hamba Tuhan yang telah mendapatkan gelar S2 bahkan S3 malah mengaminkan apa yang diajarkan dalam gerakan ini, tanpa berpikir kritis dan mempelajari dasar teologi gerakan ini. Ini adalah sesuatu yang sangat menyedihkan!

Hal yang tidak terlalu mengejutkan sebagai dampak dari identitas dirinya yang tidak jelas adalah berulang kali Cole menyebut dan mengklaim diri sebagai nabi Allah di tengah jaman ini.

“Sebenarnya perkara ini terlalu keras, terlalu tajam – bahkan untuk seorang nabi pengkotbah seperti saya, yang sudah berkotbah di hadapan ribuan orang. Perkara-perkara yang lalu sepertinya sudah tidak ada apa-apanya lagi bila dibandingkan dengan perkara ini.”(4)

“Edwin Louis Cole adalah pendiri dan pemimpin dari Christian Men’s Network yang telah banyak menyampaikan pesan-pesan nubuat bagi kaum pria dari generasi masa ini.”(5)

Dalam PL memang ada tiga jabatan penting, yaitu Raja, Imam dan Nabi (yang ketiganya
bersatu dalam diri Yesus Kristus). Namun harus kita ketahui tiga jabatan ini telah berhenti.
Jabatan raja berhenti ketika bangsa Yehuda/ Israel berada di dalam masa intertestamental dan dijajah Romawi. Mereka sudah tidak memiliki kerajaan lagi. Jabatan imam berakhir ketika bait Allah diruntuhkan pada tahun 70 AD oleh Romawi dalam peperangan 4 tahun dengan Israel. Sejak itu mereka tidak memiliki lagi imam, yang ada hanya guru (rabbi). Jabatan nabi juga sudah selesai pada saat Allah telah selesai berfirman dan wahyu Allah berhenti.

Masih adakah nabi/ rasul pada jaman ini? Rupanya Cole tidak memahami bahwa jabatan nabi/ rasul sudah berhenti dengan selesainya wahyu Allah kepada manusia. Bagaimana dengan Efesus 4:11 yang mengatakan “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar.”? John Calvin dalam bukunya Ecclesiastical Ordinances mengatakan dengan jelas bahwa jabatan rasul dan nabi hanya diberikan sebagai dasar pembentukan gereja, sedangkan gereja pada masa pasca Kristus hanya memiliki 4 jabatan didalamnya:
Fundamental to the Ecclesiastical Ordinances is that Calvin felt that the fourfold office of ministry laid out therein was God-given: “There are four orders of office instituted by our Lord for the government of his Church . . . pastors; then doctors; next elders, and fourth deacons.”(6)

(suatu hal yang mendasar dalam buku Ecclesiastical Ordinances adalah bahwa Calvin merasa hanya ada 4 jabatan yang Allah berikan kepada gereja-Nya :”ada empat jabatan yang didirikan Allah bagi pemerintahan gereja-Nya …pastors (gembala-gembala), kemudian doctors (pengajar-pengajar), kemudian elders (penatua-penatua) dan keempat deacons (diaken-diaken).”

Alkitab menunjukkan bahwa seorang nabi justru beritanya tidak didengar oleh bangsanya. Ia ditolak, dikucilkan bahkan dibenci oleh orang sejamannya. Hal itu terjadi karena ia memberitakan Firman yang tidak disukai oleh orang berdosa. Itulah yang dialami nabi Allah yang sejati, bukan disanjung-sanjung atau diikuti banyak orang. Intinya, tidak ada nabi yang hidupnya enak dan ia adalah orang yang kesepian dalam jamannya.

Lagipula, dalam Alkitab tidak pernah ada nabi khusus bagi kaum laki-laki/ wanita yang hanya bicara masalah pria/ wanita. Para nabi memberitakan semua Firman Allah baik penghukuman, murka Allah, dosa kepada semua orang baik pria dan wanita. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa seorang nabi dipilih dan dipanggil sendiri oleh Allah. Bahkan seperti
nabi Yeremia dan Yohanes Pembaptis dipilih sejak mereka dalam kandungan. Pertanyaannya : kapan Allah memilih Cole menjadi seorang nabi? The Bible does not say anything about Cole! (Alkitab tidak berkata apa-apa tentang Cole). Adalah kesalahan sekaligus penyesatan mengklaim diri sebagai nabi Allah. Selain nabi-nabi yang disebutkan namanya dalam Alkitab, tidak ada nabi lagi pada jaman ini. Saya berani pastikan bahwa Cole bukanlah nabi Allah pada jaman ini.

Apakah bahaya dari mengklaim diri sebagai nabi Allah? Sebagai konsekwensi dari klaim bahwa dirinya seorang nabi Allah, Cole otomatis jatuh kepada kesalahan fatal lainnya, yaitu beranggapan bahwa Allah masih berfirman dan memberikan wahyu-Nya melalui dirinya. Hal ini akan kita bahas pada bab berikutnya.

 

ED COLE & WAHYU BARU

Mengaku sebagai nabi Allah otomatis akan mengaku menerima wahyu / firman yang baru. Ini adalah konsekwensi logis yang tidak bisa dihindari dan memang inilah yang diajarkan
Cole dalam buku-bukunya. Kesesatan demi kesesatan berlanjut terus dalam buku yang ditulis
Cole. Perhatikan apa yang ia tuliskan ketika ia sedang berada dalam sebuah pesawat terbang
mempersiapkan sebuah kotbah:

“Saya sadar bahwa Roh Allah di dalam diri saya mengilhami dan menuntun pena saya untuk menuliskan sesuatu di dalam buku catatan.” (7)

“Tetapi, di dalam perenungan ini, saya seperti kehilangan kesadaran akan keadaan di sekitar saya. Sesuatu sedang bergolak di dalam roh saya. Saya sadar, hadirat Allah hadir.”(8)
Bahkan dalam prakata edisi revisi buku Kesempurnaan Seorang Pria, ia mengatakan :

“Saya juga telah menambahkan beberapa bab yang tidak hanya menguatkan apa yang telah ditulis pada awalnya, tetapi juga memberikan pewahyuan yang luas dan makna yang lebih dalam pada kebenaran bahwa “Kesempurnaan seorang pria dan keserupaan dengan Kristus adalah hal yang sama.” (9)

Dalam bukunya Menjadi Pria Sejati, Cole berulang kali membicarakan pentingnya wahyu baru bagi kita. Ia bahkan menghubungkan wahyu yang baru dengan gaya ibadah yang baru pula.

“Orang yang telah menerima wahyu tentang Allah akan mengalami suatu aliran baru dalam dirinya sehingga ia akan memiliki suatu ekspresi rohani yang baru pula, termasuk di dalamnya adalah cara penyembahan yang baru dan pujian yang baru juga.” (10)
Selanjutnya ia mengkritik suatu ibadah yang formal berarti semakin jauh dari wahyu Allah. Pemikiran Cole ini didasarkan kepada relasi antar sesama manusia, semakin akrab manusia maka semakin tidak ada formalitas. Perhatikan apa yang ia katakan berikut ini :

“Dalam hubungan antar manusia, formalitas menjadi pertanda adanya jarak dalam hubungan tersebut, sebab dalam hubungan yang intim tidak terdapat lagi bentukbentuk formalitas. Jadi, semakin formal bentuk penyembahan yang dilakukan, semakin jauh pula jarak antara si penyembah dengan wahyu yang mula-mula diterimanya. Pada titik yang kritis ini orang harus kembali kepada Tuhan untuk mendapatkan wahyu yang baru. Sebab, “firman” yang baru akan mendorong bangkitnya inspirasi baru dan memangkas kecenderungan yang menuju kepada kemerosotan itu.”(11)
Jadi menurut Cole, supaya manusia dapat dekat/intim dengan Allah, maka ibadah harus tidak boleh dalam bentuk yang formal (kaku/ resmi). Ada benarnya, dalam hubungan antar sesama manusia semakin seseorang intim / dekat semakin tidak formal. Kita bisa memanggil langsung nama seseorang, kita bisa masuk rumahnya tanpa permisi, kita bisa ambil makanan dari mejanya tanpa sungkan. Itu sah-sah saja. Pertanyaan saya, bolehkah cara berelasi dengan sesama manusia yang berdosa ini dipakai dan diterapkan kepada Allah yang kudus? bagaimana dengan ibadah Israel sendiri baik ketika di kemah suci (tabernakel) atau bait Allah? Mereka sangat formal, tapi Allah tetap hadir di tengah-tengah mereka. Bagaimana dengan kasus Uza (2 Sam 6) yang memegang tabut Allah supaya tidak jatuh dan rusak, tetapi Allah malah menghukumnya? Uza mati, justru karena melanggar kaidah-kaidah formal yang Allah berikan. Apakah ini berarti semua ibadah dalam sepanjang sejarah gereja yang bersifat formal pasti Allah tidak hadir di dalamnya ? Cole harus belajar teologi penyembahan yang lebih Alkitabiah. Keintiman relasi dengan Allah tidak pernah menjadikan umat-Nya menjadi liar dalam hal ibadah. Bagaimana kita beribadah bukan dilandaskan kepada wahyu baru ataupun selera kita melainkan kepada prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam Alkitab.(12)
Selanjutnya, Cole menyatakan bahwa wahyu Allah menggantikan doktrin yang baku. Ini suatu penghinaan terhadap otoritas Alkitab. Cole mengkritik gereja Injili yang menurutnya terlalu kaku memegang doktrin, pengakuan iman dan mengabaikan wahyu dan nubuatan yang baru.
“Doktrin dan kredo menjadi sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat lagi, lalu muncul hasrat untuk mempertahankan kedudukan yang ada. Apabila orang tidak berusaha mencari dan mendapatkan wahyu baru yang akan membuahkan suatu kemajuan…Pada titik ini jugalah kehidupan mulai terasa membosankan…Taktik-taktik manusiawi mulai menggantikan hal-hal yang bersifat nubuatan.”(13)
Dan lucunya, Cole memberikan beberapa kritikan tajam kepada pembacanya dan juga kaum Ortodoks / Injili yang percaya bahwa Allah sudah berhenti berfirman:
“Apabila anda berpuas diri dengan wahyu yang lama tanpa pernah mau mencari atau menerima wahyu yang baru, inspirasi anda pun akan terhenti, mengeras dan menjadi bentuk institusional yang kaku – selanjutnya anda akan menjadi manusia yang ‘mengkristal’.”(14)
“Apabila orang menolak wahyu yang baru, maka ia akan terjerumus ke dalam proses kristalisasi. Padahal, Tuhan adalah Allah yang tidak mengenal kemandekan. Dia terus menerus menyatakan diri-Nya untuk memulihkan segala sesuatu sebelum kedatangan Kristus yang kedua kalinya.”(15)
“Orang semacam ini lalu akan meredakan perasaan bersalahnya dengan membenarkan dirinya sendiri, yaitu dengan cara mencemooh gelombang lawatan Roh Allah dan penyingkapan wahyu-Nya yang baru.”(16)
“Oleh karena itu, sebelum dihancurkan Allah, orang-orang semacam ini sebenarnya lebih baik merendahkan diri di hadapan Allah, bertobat, dan meminta wahyu baru dari Allah, sehingga sukacita ilahi itu akan mengisi kehidupan mereka lagi dan hubungan yang benar dengan Allah dapat terjalin kembali dengan baik.”(17)
“Allah menyediakan wahyu bagi anda!”(18)
Jelas dari kalimat ini Cole anti dengan doktrin dan pengakuan iman yang selama ini dipegang dan diajarkan oleh gereja-gereja Injili/Ortodoks. Dengan statement ini Cole merendahkan otoritas Alkitab yang adalah satu-satunya wahyu Allah tertulis bagi kita. Ia lebih suka menerima wahyu baru daripada menerima Alkitab sebagai otoritas dalam pengajarannya.
Ini bertentangan dengan prinsip Sola Scriptura. Dalam Belgic Confession, salah satu pengakuan iman Reformed yang penting pada artikel 7 tentang The Sufficiency of Scripture, dikatakan: ”for since it is forbidden to add to substract from the Word of God (sebab itu dilarang menambahkan atau mengurangi Firman Allah).”(19) Hal ini tidak mengherankan sebab ketika anda membaca doktrin-doktrin yang diajarkan Cole, anda akan menemukan penyimpangan bahkan penyesatan karena ia tidak mau terikat kepada doktrin dan pengakuan iman yang dianggapnya baku (kaku).
Statement di atas menunjukan betapa dangkalnya cara berpikir Cole. Ia tidak memahami sejarah gereja dengan baik mengapa muncul doktrin dan apa pentingnya doktrin dan pengakuan iman dalam sepanjang sejarah gereja. Tanpa doktrin/ pengajaran Tuhan Yesus dan para rasul gereja tidak akan berdiri di dunia ini. Tanpa pengakuaan iman yang dibuat bapak-bapak gereja, gereja akan melenceng dari doktrin yang asali. Mengenai pentingnya Alkitab / doktrin dan pengakuan iman, perhatikan kalimat yang dikatakan Alister McGrath dalam bukunya The Genesis of Doctrine berikut ini :

“Henry Scott Holland summarized the situation with admirable clarity : we cannot now, in full view of the facts, believe in Christ, without finding that our belief includes the Bible and the Creeds.”(20)
(Henry Scott Holland meringkas suatu situasi / permasalahan dengan kalimat yang jelas : berdasarkan fakta-fakta yang ada, kita tidak dapat percaya kepada Kristus, tanpa menemukan bahwa keyakinan iman kita juga termasuk Alkitab dan pengakuan-pengakuan iman).
Perlu anda ketahui bahwa pemikiran Cole yang anti kepada doktrin dan pengakuan iman ini jelas bukan cara berpikir teologi Reformed / Injili. Tidak ada gereja Reformed atau Injili yang anti dengan doktrin yang benar dan pengakuan iman. Doktrin dan pengakuan iman adalah pondasi gereja yang tidak boleh dirubah, karena merubah doktrin berarti membongkar kekristenan itu sendiri.
Terakhir, Cole juga menghubungkan wahyu baru dengan pertumbuhan kerohanian seseorang.

“Tidaklah salah apabila manusia begitu menggebu-gebu dan bersemangat akibat pertobatan yang baru dialaminya. Wajar juga bila seseorang sangat tergetar oleh kemenangan rohani yang diperolehnya. Tetapi, semuanya itu hendaknya tidak membuat manusia lupa untuk kembali kepada Allah guna mendapatkan lagi wahyu yang baru.”(21)
Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa pertumbuhan rohani seseorang didapat dari wahyu yang baru, melainkan kembali kepada Firman Allah yang sudah lengkap. Dalam peristiwa Pentakosta, dimana ada 3000 jiwa yang bertobat, tidak pernah dikatakan orang yang bertobat diperintahkan untuk mencari wahyu baru sebaliknya:
Kis 2:42, “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.”
Sepanjang bab 9 dalam bukunya Menjadi Pria Sejati, Cole memakai istilah-istilah “wahyu”, “inspirasi” dengan tidak bertanggung jawab. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Cole sendiri tidak memahami iman Kristen dengan baik. Ia berbicara panjang lebar tentang wahyu dengan pemahaman yang salah total sehingga menghasilkan tulisan yang juga menyesatkan pembacanya. Dalam penjelasannya tentang Alkitab, Cole hanya menyinggung isi Alkitab tanpa menegaskan hakekat Alkitab itu sendiri. Dengan kata lain Cole tidak pernah menyatakan bahwa Alkitab adalah firman Allah yang sudah selesai diwahyukan. Inilah pengertian Cole tentang apa itu Alkitab :
“Alkitab adalah sebuah kitab sejarah, puisi, amsal, silsilah, hukum, nubuatan, pengajaran dan riwayat hidup. Salib merupakan topik utama dari Alkitab. Dalam Perjanjian Lama ada taurat, sejarah, puisi dan nabi-nabi. Dalam Perjanjian Baru ada Injil, sejarah, surat para rasul dan Wahyu.”(22)

Cole juga lupa bahwa tidak setiap saat Allah memberikan wahyu-Nya. Pada masa intertestamental (masa antara PL – PB) Allah tidak berfirman 400 tahun lamanya. Jika Allah bisa berhenti berfirman pada masa itu, mengapa Allah tidak bisa berhenti berfirman pada saat ini ketika Alkitab sudah menjadi kanon dan lengkap?

 

PENOLONG YANG LAIN a la COLE

Dengan memerankan diri sebagai nabi maka jangan heran Cole merasa mendapat pimpinan ‘langsung’ dari Roh Kudus. Berulang kali ia menyatakan pimpinan Roh Kudus yang berbeda dengan kebanyakan orang lain. Perkataan Cole dalam bukunya ini, kembali mengingatkan saya kepada Montanus, bapak gereja yang sesat yang terus menerus mendapatkan pimpinan bahkan wahyu secara khusus dari Roh Kudus. Ini seperti efek domino, ketika seseorang menganggap diri sebagai nabi, ia akan merasakan pimpinan Roh Kudus berbeda dari orang lain. Inilah yang Cole katakan:
“…saya merasakan Roh Kudus membisikkan kepada saya untuk juga menjangkau orang lain. Menyatakan perintah Allah kepada bangsa-bangsa lain, kepada setiap orang yang percaya dan yang belum percaya di mana pun mereka berada, dikotakota, di desa-desa dan di dalam persekutun-persekutuan.”(23)
Tetapi, Roh Kudus melangkah masuk, dengan tenang, dan hening, Ia membisikkan sebuah kalimat di dalam hati saya: “Bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu.”(24)
“Sebagaimana mereka berdoa, makin tampaklah bahwa yang berbicara adalah Roh Kudus – dan saya menerima pesan tersebut sebagai tujuan yang Allah berikan kepada saya.”(25)
Dengan apa yang ia katakan ini sebenarnya Cole telah melecehkan kehadiran Alkitab. Memang dalam PL khususnya, Allah berbicara langsung kepada nabi-Nya. Namun itu sebelum Alkitab dikanonkan. Setelah Alkitab menjadi kanon, Roh Kudus bekerja dan berbicara melalui Firman. Roh Kudus dan Firman tidak bisa dipisahkan.

“For Calvin, Word and Spirit belong inseparably together. The Spirit does not witness apart from the Word ; The Word without the work of the Spirit has no power or efficacy.”(26)

(Bagi Calvin, Firman dan Roh Kudus tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Roh Kudus tidak bersaksi terpisah dari Firman. Firman tanpa pekerjaan Roh Kudus tidak memiliki kuasa atau efektifitas).
Mengapa para reformator menghubungkan Roh Kudus dan Firman dalam pemikiran mereka? Karena mereka sudah melihat gejala seperti ini di dalam jaman mereka.
“On the other hand, some of calvin’s contemporaries, ‘fanatics’ he called them were so enamoured of the Spirit that they saw little need for the written Word. Hence, “these rascal tear apart those things which the prophet joined together with an inviolable bond” (Inst. 1.9.1).(27)
(Pada sisi yang lain, beberapa orang sejaman Calvin yang ia panggil ‘fanatik’ sangat tergila-gila dengan Roh Kudus sehingga mereka tidak terlalu membutuhkan Firman. Mereka ini merusak apa yang dipersatukan oleh para nabi dengan ikatan yang seharusnya tidak boleh dirusak (Inst 1.9.1)).


Bukan itu saja, Cole dengan jelas menyetujui bahwa fenomena-fenomena dalam ibadah yang ecstatic adalah lawatan Roh Kudus. Ia berkata:
“Dengan gerakan yang tiba-tiba, tangan beberapa pria terangkat ke atas, dan mereka mulai menangis dan menjerit di dalam pujian dan penyembahan kepada Allah. Roh Kudus melawat kapel yang terletak di daerah pegunungan itu…”(28)
Cole menunjukkan konsistensinya bahwa ibadah yang benar harus berdasarkan kepada wahyu yang baru. Inilah yang disebut ibadah yang intim dengan Allah. Seperti yang saya telah jelaskan diatas, rupanya ini telah menjadi suatu trend dalam camp pria sejati. Anda seharusnya bisa menilai sendiri apa yang salah dengan ibadah seperti ini. Cole melanjutkan pengalamannya dengan Roh Kudus dalam pristiwa lainnya.
“Suatu ketika saya sedang melayani seorang pendeta di Chicago, tiba-tiba Roh Kudus mengambil alih ‘saat-saat Allah’ itu.”(29)
“Bertahun-tahun kemudian Tuhan kembali menyampaikan firman-Nya secara khusus kepada saya. Ketika itu saya sedang berpuasa dan seperti biasa, pagi itu saya juga berjalan-jalan menyusuri pantai seorang diri di tengah-tengah udara yang masih terasa begitu dingin dan berkabut. Saya kemudian berseru kepada Allah dan Roh-Nya menyampaikan kelima “firman” ini kepada roh saya: “Kuduskanlah dirimu. Beritakanlah firman Tuhan. Jangan ragu akan apapun. Gunakanlah emas, namun jangan jamah kemuliaannya. Naikanlah doa yang terdapat dalam Kis 4:24.”(30)
“Ketika akhirnya saya merenungkan kejadian itu, saya mendengar suara lembut Roh Kudus berbicara dalam hati dan pikiran saya dan menyampaikan perkataan Yesus.”(31)
Dalam pembicaraannya tentang Roh Kudus, kita melihat bahwa Cole selalu memahami relasinya dengan Roh Kudus dengan cara yang berbau prophetic (kenabian). Ia seolah-olah ingin menunjukkan bahwa dirinya begitu istimewa. Terus menerus mendapat wahyu/firman yang baru. Sekali lagi saya tegaskan bahwa Allah bekerja dengan cara yang berbeda sebelum dan sesudah Alkitab selesai dituliskan. Memang kepada para nabi dan rasul, Roh Kudus menuntun mereka secara langsung (misal : Kis 16:6). Tetapi harus diingat bahwa Cole bukanlah nabi ataupun rasul. Sebaliknya, dalam Alkitab juga begitu banyak peringatan kepada orang-orang yang merasa mendapat firman/wahyu dari Allah padahal sebenarnya tidak. (32)

Yeremia 23:21, “Aku tidak mengutus para nabi itu, namun mereka giat; Aku tidak berfirman kepada mereka, namun mereka bernubuat.”
Yeremia 14:14 Jawab TUHAN kepadaku: “Para nabi itu bernubuat palsu demi nama-Ku! Aku tidak mengutus mereka, tidak memerintahkan mereka dan tidak berfirman kepada mereka. Mereka menubuatkan kepadamu penglihatan bohong, ramalan kosong dan tipu rekaan hatinya sendiri.”
Maka orang Kristen sejati harus memiliki kewaspadaan terhadap nabi palsu yang senang mengkalim diri bahwa Roh Kudus berfirman kepadanya. Berhati-hatilah kepada orang seperti ini.

 

BUKAN YESUS YANG KUKENAL

Dalam bukunya Cole berbicara banyak tentang pribadi Yesus. Cole percaya bahwa Yesus Allah-manusia, misalnya dalam kalimat berikut ini:

“Kenyataan tersebut menghadapkan kita pada suatu pertanyaan yang telah digumuli umat manusia sejak dua ribu tahun silam. Bagaimana kita dapat menghampiri Allah-manusia, Yesus Kristus ini?”(33)
“Dia datang sebagai Anak Allah dan Anak Manusia- ketuhanan yang sempurna dan kemanusiaan yang sempurna bersatu dalam Pribadi Kedua dari Tritunggal. Allah yang sejati dan manusia yang sejati.”(34)
Kalimat diatas tidak ada masalah, karena sesuai dengan pengakuan iman Chalcedon, pribadi Yesus Kristus memang memiliki dua sifat yaitu ilahi dan manusia. Namun kita jangan berhenti hanya kepada kalimat ini saja, dalam aplikasi dan penerapannya Cole selalu menghubungkan Yesus Kristus dengan pemahaman pria sejati secara sangat naïf, misalnya dalam kalimat-kalimat seperti berikut:
“Saya berhenti berbicara dan memberi kesempatan bagi pria yang belum pernah mengambil keputusan untuk menjadi “pria sejati” agar maju dan menyatakan sikap mereka. Sewaktu ratusan pria beringsut maju ke depan, pria-pria yang lain bersorak gemuruh, “Yesus, Yesus, Yesus!”(35)
“Dia adalah “Pria yang sejati”. Oleh karena itu, setiap pria yang menemukan dan mengidentifikasikan dirinya dengan Kristus akan merasa benar-benar mantap juga dengan citra dirinya. Dan, selanjutnya Kristus akan membentuk mereka kembali agar sesuai dengan gambar-Nya yang sempurna itu.”(36)
Hanya karena seseorang maju dan bertobat, ia disamakan seperti Yesus? Dan herannya Cole bangga dengan teriakan-teriakan seperti ini. Adakah di dalam Alkitab orang berdosa yang bertobat lalu disamakan/menyamakan dirinya dengan Tuhan Yesus? Yang ada justru kebalikannya:
Lukas 18:13, “Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”
Lukas 5:8, “Ketika Simon Petrus melihat hal itu iapun tersungkur di depan Yesus dan berkata: “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.”
Jelas dalam pristiwa yang dibanggakan Cole ini tidak menghormati pribadi Yesus Kristus.(37) Tidak ada nabi / rasul dalam Alkitab yang mengajarkan bahwa orang yang bertobat diidentifikasi seperti Yesus. Apa yang dibangga-banggakan Cole dengan KKRnya pada saat yang sama sangat melecehkan pribadi Kristus. Demikian pula apa betul setiap orang yang menyamakan dirinya dengan Kristus otomatis jadi pria sejati? Anehnya Tuhan Yesus justru malah mengingatkan agar kita hati-hati dengan orang yang menyamakan dirinya dengan Dia.
Matius 24:23, “Pada waktu itu jika orang berkata kepada kamu: Lihat, Mesias ada di sini, atau Mesias ada di sana, jangan kamu percaya.”
Matius 24:26, “Jadi, apabila orang berkata kepadamu: Lihat, Ia ada di padang gurun, janganlah kamu pergi ke situ; atau: Lihat, Ia ada di dalam bilik, janganlah kamu percaya.”
Ini adalah peringatan terhadap mesias-mesias palsu. Mereka adalah orang-orang yang mengidentifikasikan diri mereka dengan Kristus. Jika Cole benar bahwa setiap pria yang mengidentifikasikan diri mereka dengan Yesus otomatis jadi pria sejati, maka David Koresh adalah pria yang paling sejati, sebab ia menganggap dirinya adalah jelmaan Yesus Kristus.

Pada kesempatan yang lain Cole percaya bahwa kematian Yesus untuk menebus dosa-dosa manusia. Ia mengatakan:

“Itu sebabnya Yesus harus mati untuk menebus dosa-dosa kita, karena kita tidak mungkin menyucikan diri kita sendiri.”(38)

“Untuk menggenapi kehendak Allah, Kristus rela menanggung dosa seluruh dunia di Bukit Kalvari…Dia memikul tanggung jawab atas perbuatan orang-orang yang paling cemar dan tercela, menanggung kesalahan dan aib mereka, dan menanggung hukuman yang seharusnya menimpa mereka, padahal Dia sama sekali tidak berdosa dan tidak bersalah.”(39)

Namun, siapa Yesus yang mati menebus dosa kita ini? Seperti yang telah saya katakan diatas, Cole tidak mau terikat kepada doktrin dan pengakuan iman, maka Yesus yang Cole tuliskan dalam bukunya ini jelas bukan pribadi kedua Allah Tritunggal. Buktinya apa?

Pertama, Cole berulang kali menyatakan bahwa Yesus adalah ciptaan.
“Para pria tersebut tiba-tiba menyadari bahwa menjadi pria sejati artinya adalah menjadi seperti Yesus, satu-satunya Pria yang pernah hidup tepat sesuai dengan kehendak dan tujuan Allah dalam menciptakan diri-Nya.”(40)
“Yesus datang ke dunia sebagai perwujudan gambar Allah. Dia mengetahui dalam citra Siapa diri-Nya diciptakan, serta Siapa yang diwakili-Nya di bumi ini.”(41)

Kedua, betulkah Yesus yang dikatakan Cole tidak berdosa? Kalau memang demikian, mengapa Yesus perlu mengalami kelahiran baru? Perhatikan apa yang ia katakan tentang Yesus:
“Oleh karena kedudukannya sebagai Anak Allah, Yesus memampukan manusia menjadi anak-anak Allah, yaitu dengan cara manusia harus dilahirkan kembali oleh Roh Allah seperti yang telah dialami Yesus.”(42)
Bukan saja Tuhan Yesus perlu dilahir-barukan, Yesus Kristus juga perlu pengampunan. Ini yang dikatakan Cole:
“Ini adalah bagian yang maksimal dari kepriaan anda. Memberi dan menerima pengampunan adalah tindakan yang menyerupai Kristus.”(43)
Pertanyaan saya kepada Cole, kapan Tuhan Yesus menerima pengampunan? Prinsip ini secara tidak langsung mengatakan bahwa Yesus bisa berdosa/ bersalah dan membutuhkan pengampunan. Ajaran dari mana yang menyatakan Kristus seperti ini?
Meskipun Cole berbicara panjang lebar tentang pribadi Yesus, Kristologi Cole memiliki kesalahan yang sangat fundamental bahkan menyesatkan. Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa Yesus adalah ciptaan, Ia adalah Allah yang sama kekal, sama kuasa dengan Allah Bapa. Ia adalah pencipta bukan ciptaan seperti yang dikatakan Cole.
Kolose 1:16, “karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.
Ibrani 1:2, “maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.
Yohanes 1:3, “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.”
Alkitab juga tidak pernah mengajarkan bahwa Yesus harus mengalami kelahiran baru seperti kita. Justru sebaliknya, Yesuslah yang mengajarkan doktrin kelahiran baru (Yoh 3). Bila Yesus harus mengalami kelahiran baru seperti kita, maka Yesus versi Cole adalah Yesus yang bisa berdosa dan ini bukan Yesus yang kita kenal. Inilah konsekwensinya bila Cole berpendapat bahwa doktrin dan pengakuan iman yang selama ini dipegang gereja sepanjang jaman dianggap terlalu kaku. Dalam hal ini tidak berlebihan apa yang Cole ajarkan tentang Kristus dalam bukunya ini mirip dengan ajaran Saksi Jehovah. Saksi Jehovah mengajarkan bahwa Yesus adalah ciptaan dan mengalami kelahiran baru (menjadi allah) saat Ia dibaptis. Apa bedanya?

 

TRITUNGGAL YANG ANEH

Cole berbicara tentang doktrin Tritunggal walaupun hanya singkat. Namun seperti biasanya, ketika berbicara tentang doktrin, ajaran Cole patut dipertanyakan.

“Para teolog menjelaskan tentang kedudukan Allah, Anak dan Roh Kudus dalam Tritunggal Allah, sebagai berikut: Anak = Visioner (pemegang visi), Roh Kudus = Administrator (pengelola), Bapa = Penguasa.”(44)
Pertama, siapa yang dimaksud oleh Cole dengan ‘para teolog’ dalam statement ini? Sebagai penulis ketika ia mengutip perkataan seseorang ia harus menuliskan sumbernya dengan jelas. Ini adalah suatu pertanggung jawaban akademis. Apa yang Cole maksudkan dengan Anak=visioner? Roh Kudus = Administrator dan Bapa = penguasa? Ia sama sekali tidak  memberikan penjelasan apa-apa. Lagipula sejauh saya mempelajari Tritunggal tidak ada teolog siapapun yang mengajarkan Tritunggal seperti ini selain Cole. Dimana ayat-ayat yang mengajarkan doktrin Tritunggal seperti ini? Jangan-jangan ini karangan Cole sendiri.

Pembahasan tentang Tritunggal adalah sesuatu yang rumit yang tidak mungkin bisa dijelaskan secara tuntas dalam makalah ini. Secara umum, para teolog Reformed dan bapak-bapak gereja membagi Allah Tritunggal menjadi 2 pemikiran: Immanent Trinity (ad intra), yaitu relasi diantara masing-masing pribadi Tritunggal terlepas dari dunia ciptaan. Yang kedua adalah Economic Trinty (ad extra) yaitu apa yang Allah Tritunggal kerjakan dalam dunia ciptaan-Nya (penciptaan, keselamatan, wahyu, dsb). Dari semua pemikiran Allah Tritunggal dalam sepanjang sejarah gereja tidak ada satupun yang berpikiran seperti Cole. Bandingkan dengan pemikiran Gregory of Nyssa yang mewakili pandangan gereja secara umum:

“Gregory of Nyssa ’s parsing still makes good sense: “Every operation which extends from God to the creation . . .has its origin from the Father, proceeds through the Son, and is perfected in the Holy Spirit”.(45)

(Kalimat Gregory dari Nyssa masih masuk akal : setiap hal yang dikerjakan Allah dalam kaitannya dengan penciptaan … memiliki asal dari Bapa, diteruskan melalui Anak dan disempurnakan dalam Roh Kudus.)

Ini juga menunjukkan bahwa Cole tidak memahami doktrin yang begitu penting ini dengan komprehensif.

 

DOSA & PENGAMPUNAN VERSI ED COLE

Cole banyak berbicara tentang dosa dan pengampunan dalam buku Kesempurnaan Seorang Pria. Mari kita kaji apa yang ia ajarkan tentang dosa dan pengampunan. Hal pertama yang cukup mengejutkan kita adalah Cole tidak percaya dosa asal/ turunan (original sin). Ini tulisannya:
“Dosa tidak memiliki sifat turun-temurun.”(46)
Suatu kalimat yang singkat tetapi sangat menyesatkan & berbahaya. Sepanjang sejarah gereja, gereja yang ortodoks semua percaya bahwa dosa Adam diwariskan / diturunkan kepada setiap manusia yang pernah lahir kedalam dunia ini. Hanya bidat seperti Pelagianisme yang mengajarkan bahwa manusia dilahirkan tanpa dosa asal, manusia baik dan suci pada dasarnya. Bidat lainnya bagi saya adalah Cole sendiri.
Pengakuan iman Westminster yang juga adalah salah satu pengakuan iman resmi gereja-gereja Reformed mengatakan hal yang sebaliknya dari Cole. Pada bab 6 tentang kejatuhan
manusia dalam dosa dikatakan :

“They being the root of all mankind, the guilt of this sin was imputed, and the same death in sin and corrupted nature conveyed to all their posterity, descending from them by ordinary generation.”(47)
(Mereka/ Adam & Hawa adalah nenek moyang semua manusia, dosa ini ditularkan, dan kematian dalam dosa serta nature yang tercemar dosa di teruskan kepada keturunan mereka, ditularkan dari mereka melalui kelahiran).
Alkitab dengan tegas mengatakan dalam Mazmur 51:5 bahwa sejak dalam kandungan kita sudah berdosa dan mewarisi dosa. “Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku.” Demikian pula Paulus dalam Roma 5:12 berbicara dengan jelas bahwa dosa Adam itu diwariskan kepada setiap manusia.
“Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.”
Alkitab berkata bahwa hanya Tuhan Yesus yang tidak tercemar dosa asal ini. Jika Cole menolak doktrin original sin, bagaimana ia menjelaskan sifat dosa yang ada dalam diri manusia? Dan untuk apa Tuhan Yesus mengharuskan kita dilahir-barukan kembali untuk masuk kerajaan surga? Yang lebih serius, untuk apa Tuhan Yesus mati menebus dosa manusia?
Pemahaman Cole tentang pengampunan dosa juga patut dipertanyakan secara exegesis. Ia mendefinisikan pengampunan dengan pemikiran yang non-Alkitabiah:
“Bila anda tidak memaafkan dosa yang sudah diperbuat oleh seseorang terhadap anda, sesungguhnya anda sedang menanggung dosa tersebut; menahannya. Akibatnya anda akan membuat kesalahan-kesalahan yang sama terhadap orang lain.”(48)
Cole mengatakan kalimat seperti ini, tapi tidak memberikan dasar ayatnya. Mengapa? Karena memang tidak ada ajaran seperti ini di dalam Alkitab! Ini adalah doktrin ciptaan Cole sendiri. Ajaran ini sama sekali tidak mendorong orang untuk mengampuni, malahan bisa menjadikan si korban yang menanggung dosa pelaku. Untuk memahami logika berpikir Cole, perhatikan contoh kasus sederhana ini. Misalnya : Amir mencuri uang Agus, tetapi Agus
(korban) tidak mau memaafkan Amir (pelaku). Menurut Cole yang menanggung dosa pencurian bukan Amir tapi Agus, karena Agus tidak mau memaafkan Amir. Jadi ujung-ujungnya Agus (korban) benar-benar kasihan hidupnya. Ia sudah kehilangan uang, berdosa karena tidak mau mengampuni dan ditambah lagi menanggung dosanya Amir, karena ia tidak mau mengampuni. Anda bingung? (kalau anda bingung berarti anda normal). Dan lebih anehnya lagi, karena Agus tidak mau memaafkan Amir, ia akan tertular jadi pencuri seperti orang yang tidak mau ia ampuni (Amir). Sungguh ajaran yang anehnya luar biasa!
Alkitab dalam terang teologi Reformed mengajarkan hanya ada tiga imputation (pelimpahan). Imputation Pertama adalah dosa Adam kepada keturunannya. Imputation kedua adalah dosa kita ditanggung Yesus Kristus dan imputation ketiga adalah kebenaran Kristus diberikan kepada kita yang percaya kepada Dia (justification by faith). Tidak ada ajaran dalam Alkitab tentang dosa dan pengampunan seperti yang Cole ajarkan dalam bukunya ini. Cole benar-benar mendapat ‘wahyu’ baru.

 

SIAPAKAH MANUSIA ?

Dalam bukunya Menjadi Pria Sejati, Cole menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan keserupaan moral Allah. Menurut Cole, Allah memperlengkapi kita dengan lima kemampuan yang memungkinkan kita menjalani kehidupan yang serupa dengan kehidupan Kristus. Untuk lebih lengkapnya, ia menuliskan demikian:

“Ketika Allah menciptakan manusia menurut gambar dan keserupaan moral-Nya, Dia memperlengkapi kita dengan lima kemampuan yang memungkinkan kita menjalani kehidupan yang serupa dengan kehidupan Kristus. Dengan demikian Allah telah mencurahkan sebagian keunggulan sorga ke bumi ini. Kelima kemampuan itu adalah:
(1). Kemampuan untuk mengetahui kebenaran

(2). Kemampuan untuk mengenali keutamaan moral

(3). Kekuatan untuk melakukan kehendak kita

(4). Daya cipta melalui perkataan kita

(5). Hak dan kemampuan untuk berkembang biak.”(49)

Sepintas lalu tidak ada yang salah dengan kalimat ini. Namun perhatikan baik-baik poin yang ke-4. Cole mengajarkan bahwa manusia diberi kemampuan untuk mencipta melalui perkataannya. Kapan Allah memberikan kemampuan ini kepada manusia? Di mana ajaran Alkitab yang mengatakan demikian? Manusia memang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, tetapi Allah tidak pernah memberikan kemampuan mencipta melalui perkataan.

Dalam seluruh Alkitab hanya Allah sendiri yang mencipta melalui kuasa firman (perkataan), lihat kejadian pasal 1. Bahkan ketika Allah menciptakan manusia, Ia tidak memakai perkataan-Nya melainkan ia memakai debu tanah. Demikian juga ketika Allah menciptakan Hawa, Ia memakai media tulang. Yang terjadi dalam taman Eden adalah Allah memerintahkan manusia untuk bekerja dan mengelola taman tersebut (Kej 2:15). Manusia harus bekerja untuk mencipta bukan berfirman untuk mencipta! Cole dalam poin ini ingin menyamakan kemampuan manusia dengan Allah, sesuatu dosa yang dilakukan Adam dan Hawa dan sekaligus dosa yang dibenci Allah. Dalam Mazmur 8, Daud hanya mengatakan bahwa manusia itu diciptakan mirip dengan Allah, inilah artinya peta dan teladan Allah. Daud tetap menyadari perbedaan antara ciptaaan (dirinya) dengan pencipta (Allah). Bahkan selama Tuhan Yesus berinkarnasi dalam daging, Ia tidak pernah memakai kuasa kata-kataNya untuk menciptakan sesuatu secara Ex-Nihilo (dari tidak ada menjadi ada).
Tidak berhenti dengan pemikiran di atas, Cole kembali menjunjung status manusia secara berlebihan yang tidak diajarkan dalam Alkitab.

“Anda harus dapat menjadi wahyu Allah yang dinyatakan bagi orang-orang tersebut. Sebagaimana dahulu Yesus menjadi wahyu Allah yang dinyatakan di atas bumi, demikian pula kaum pria harus berdiri mewakili Kristus dan menjadi wahyu Allah bagi sesamanya.”(50)
Sepertinya kalimat yang indah, namun salahnya luar biasa. Sejak manusia pertama diciptakan di taman Eden hingga dicipta ulang dalam Kristus Yesus, Alkitab tidak pernah menjadikan manusia sebagai wahyu Allah. Manusia bukan wahyu Allah, manusia justru membutuhkan wahyu Allah baik secara umum (ciptaan,alam semesta, dll) maupun wahyu secara khusus (Alkitab dan Tuhan Yesus). Melalui wahyu inilah manusia mengenal Allah. Terlebih lagi Alkitab tidak pernah memerintahkan kita menjadi wakil Tuhan Yesus sebagai wahyu Allah di bumi. Bagaimana mungkin manusia yang berdosa menjadi wakil Yesus Kristus yang tidak berdosa?
Perhatikan apa yang dikatakan seorang teolog Reformed Cornelius Van Til tentang relasi manusia dan wahyu Allah: “ All of God’s revelation to man is law to man (semua wahyu Allah kepada manusia adalah hukum bagi manusia).(51) Jika wahyu Allah menjadi hukum bagi manusia, bagaimanakah manusia menjadi wahyu itu sendiri? Itu sesuatu yang tidak masuk akal.

Yang benar adalah Kristus datang ke dunia justru menjadi wakil umat pilihan Allah, bukan sebaliknya. Ia tidak perlu diwakilkan siapa-siapa. Siapakah kaum pria sehingga berhak dan layak mewakili Yesus? Jika Kristus perlu diwakilkan manusia, berarti Yesus Kristus tidak sempurna, tidak maha kuasa, tidak berotoritas dan ini berarti manusia lebih hebat dari Kristus. Tuhan Yesus tidak pernah mengatakan Ia perlu diwakilkan sebagai wahyu Allah. Tuhan Yesus hanya mengatakan “kamu akan menjadi saksiKu” (Kis 1:8), “kamu adalah terang dunia”, “kamu adalah garam dunia” (Mat 5:12-13). Ini menunjukkan sekali lagi pemikiran Cole yang tidak utuh tentang kebenaran Firman Allah mengenai siapa manusia itu.

Masih belum puas dengan kedua hal diatas, kembali Cole mengatakan bahwa melalui kelahiran baru, manusia akan memiliki sifat/ kodrat ilahi. Ini suatu hal yang tidak pernah Alkitab ajarkan. Manusia memang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya tetapi Allah tidak pernah menjadikan manusia memiliki sifat ilahi pada dirinya.

“Manusia terlahir dari daging dan tidak memiliki kodrat ilahi melalui kelahiran alami. Itulah sebabnya Yesus mengatakan kepada Nikodemus bahwa ia harus dilahirkan kembali (Yohanes 3:3). Dia mengajarkan bahwa Allah adalah Roh, dan oleh karena itu untuk dapat menerima kodrat Allah, kita harus dilahirkan dari Roh-Nya sebagaimana kita dilahirkan dari daging. Ketika Roh Kristus masuk ke dalam kehidupan seorang manusia, terjadilah suatu “kelahiran”, karena dengan cara itu manusia dibuat hidup di dalam Roh.”(52)

Mungkin Alkitabnya Cole berbeda dengan Alkitab kita. Oleh karena dalam Yohanes 3 ketika Tuhan Yesus berbicara dengan Nicodemus, Tuhan Yesus tidak berbicara manusia akan menerima kodrat/ sifat ilahi kalau ia dilahir-barukan, melainkan manusia harus dilahir-barukan supaya ia dapat masuk kerajaan Allah. Ini perkataan Alkitab yang sebenarnya:
Yohanes 3:5, Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
Tuhan Yesus tidak pernah mengatakan:
Yohanes 3:5, Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak memperoleh kodrat/sifat ilahi.”
Ini dua kalimat yang sama sekali berbeda artinya. Cole tidak memahami arti lahir baru yang sebenarnya. Kelahiran baru tidak pernah merubah hakekat manusia menjadi/ memiliki sifat ilahi. Jadi apa yang dimaksudkan dengan kelahiran baru itu ? Teologi Reformed memahami kelahiran baru sebagai karya Roh Kudus, di mana Ia menanamkan benih kehidupan rohani yang baru dalam kehendak, ratio, dan emosi manusia, sehingga ia dihidupkan secara rohani. Louis Berkhof mendefinisikannya sebagai berikut:

“Regeneration is that act of God by which the principle of the new life is implanted in man, and the governing disposition of the soul is made holy.” (53)

(Kelahiran baru adalah tindakan Allah dimana prinsip hidup baru ditanamkan pada manusia, dan kecenderungan hati manusia dijadikan kudus).
Pada buku yang sama, Berkhof menegaskan kembali apa yang saya katakan bahwa kelahiran baru tidak merubah hakekat manusia: “regeneration is not a change in the substance of  human nature (Kelahiran baru bukanlah perubahan substansi/hakekat natur manusia).(54) Dengan mengganti-ganti ayat semau dirinya, Cole tidak sadar sudah mengajarkan kesesatan baru dalam ajarannya.
Lalu apa maksud Petrus dalam 2 Pet 1:4 ketika ia mengatakan “Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia.”?(55) Kata “mengambil bagian” (NIV: participate) dalam bahasa Yunaninya adalah koinwnoi (koinonoi) yang bisa diartikan partner, companion, sharer. Apa yang Petrus katakan dalam suratnya ini sama sekali tidak mengajarkan bahwa manusia setelah percaya memiliki sifat ilahi pada dirinya (deification). Konteks ayat ini berbicara bahwa manusia yang berdosa telah dipanggil oleh kuasa-Nya yang mulia dan dan ajaib (ay 3) serta diberikan janji yang berharga dan sangat besar (ay 4). Semuanya itulah yang memungkinkan orang berdosa bersekutu (koinonoi) dengan Allah dalam kebenaran dan kekudusan dan pengenalan yang benar. Inilah yang Petrus maksudkan ketika ia berbicara “kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi.” Sesuatu yang dulunya kita tidak miliki sekarang kita peroleh melalui Kristus. Tidak ada indikasi apapun dalam ayat ini Petrus mengajarkan perubahan hakekat manusia sehingga memiliki sifat ilahi, seperti yang Cole ajarkan. Richard Bauckham misalnya, hanya menafsirkan ayat ini: “To share in divine nature is to become immortal and incorruptible.”(56) (berbagian dalam sifat ilahi adalah menjadi immortal dan incorruptible). Sedangkan Kevin VanHoozer menafsirkan ayat ini lebih menekankan kepada persekutuan dengan Allah Tritunggal dalam konteks Covenant (perjanjian):
“The focus is on the communicative union – fellowship, not fusion – brought into being by triune dialogical action oriented to covenantal relation.”(57)
(Fokusnya adalah persatuan komunikasi – suatu persekutuan, bukan peleburan – yang diberikan kepada manusia oleh Allah Tritunggal dalam suatu relasi perjanjian).
Teologi Reformed sangat menekankan perbedaan yang hakiki antara pencipta dan ciptaan. Maka harus kita tegaskan sekali lagi bahwa dalam seluruh Alkitab tidak pernah ada ajaran mengilahkan manusia (deification). Ini bukan ajaran iman Kristen. Let God be God, let man be man!


DOA DAN KETAATAN : SINERGI ATAU OPOSISI ?

Cole dalam tulisannya mempertentangkan doa dan ketaatan. Hal ini nampak dari kalimat berikut ini:

Satu ton doa tidak akan pernah menghasilkan satu ons keinginan untuk hidup taat. Setelah anda mengucapkan semua doa anda, bila anda tidak taat, anda sedang menyangkal doa-doa anda itu. Percaya ditambah dengan perbuatan sama dengan iman.”(58)
Ini ajaran yang cukup menyesatkan, sebab dalam Alkitab doa dan ketaatan bukan untuk dipertentangkan. Bagaimana Cole begitu yakin bahwa “satu ton” doa tidak akan menghasilkan ketaatan? Bagaimana seseorang bisa taat kalau ia tidak berdoa? Suatu ajaran yang konyol dengan mengatakan bahwa doa tidak akan menghasilkan ketaatan. Cole dalam statement ini sangat meremehkan kekuatan doa dan ia tidak mengerti untuk apa kita berdoa. Kita berdoa justru menyerahkan kehendak kita di dalam ketaatan kepada Allah. Tuhan Yesus sudah membuktikan keduanya tidak bisa dipisahkan. Oleh karena Tuhan Yesus berdoa, Ia mendapatkan kekuatan berjalan ke kalvari (Mat 26:42). Hana berdoa meminta seorang anak kepada Allah dan ia berjanji untuk mempersembahkan anak itu kembali kepada Allah (1 Sam ). Hana berdoa dan dalam doanya menghasilkan ketaatan. Dalam kitab Ezra 9, nabi Ezra berdoa bagi bangsa Israel dan diikuti dengan suatu pertobatan dan ketaatan. Terlalu banyak ayat dalam Alkitab yang menghubungkan doa dan ketaatan. Ajaran Cole tidak Alkitabiah dan Cole perlu lebih banyak waktu untuk membaca Alkitab agar lebih memahami tentang relasi doa dan ketaatan.

HERMENEUTICS YANG PERLU DIPERTANYAKAN

Cole dalam buku-bukunya sering memakai cerita-cerita Alkitab dan mencuplik ayat-ayat, tetapi cara ia menafsirkan tidak menunjukkan bahwa ia seorang yang mengerti hermeneutics yang bertanggung jawab.
1. Cole melakukan penafsiran yang allegory.

Tafsiran dengan cara allegory adalah tafsiran yang tidak berdasarkan konteks history maupun exegesis yang baik, melainkan lebih didasarkan kepada subyektifitas penafsirnya. Sehingga hasilnya adalah ayat dicocok-cocokan dengan kemauan Cole sendiri.

Dalam bukunya Kesempurnaan Seorang Pria bab 1, Cole berbicara tentang Tanah Perjanjian (the promise land) yang Allah hendak berikan kepada bangsa Israel ketika mereka keluar dari Mesir. Tiba-tiba ia berpindah topik bahwa tanah kanaan ini adalah tanah kanaan rohani bagi kaum pria.
“Sekarang, di sini, izinkanlah saya menjelaskan kepada anda arti dari Tanah Kanaan, dan bagaimana menerapkannya di dalam kehidupan anda.”(59)
“Saya ingin anda mengerti bahwa Kanaan adalah Tanah Perjanjian, tempat di mana Allah menginginkan anda hidup dengan iman saat ini. Di tempat itu, Allah akan menggenapi janji-janji-Nya atas kehidupan anda. Di sana, anda dapat meraih potensi maksimal anda.”(60)
“Allah menginginkan agar kita memiliki Tanah Kanaan di dalam pernikahan, usaha, hubungan orang tua dan pendidikan kita.”(61)
Tafsiran seperti ini adalah tafsiran yang salah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Musa sebagai penulis kitab Keluaran ini sama sekali tidak bermaksud untuk memakai tanah Kanaan sebagai hal rohani, apalagi untuk pernikahan, usaha, dll. Tanah Kanaan di sini adalah jelas bersifat jasmani dan teritorial bukan rohani. Cole lupa bahwa justru di tanah Kanaan-lah bangsa Israel melakukan kawin campur, menyembah berhala, dsb. Apakah ini potensi maksimal yang ia maksudkan di tanah Kanaan? Tafsiran allegory ini memang populer di abad mula-mula seperti yang dilakukan oleh Clement & Origen (Alexandria), Agustinus dalam beberapa tafsirannya dan beberapa teolog pada masa medieval ages (abad pertengahan). Tetapi cara penafsiran seperti ini sudah ditinggalkan sejak reformasi karena dianggap tidak bertanggung jawab.

2. Cole tidak bisa membedakan arti rohani dan jasmani.

Masih mirip dengan kesalahan diatas, Cole kembali menunjukkan kekonyolan dengan tafsirannya tentang terminology ‘hati’ (Inggris: heart). Dalam bab 17 buku Kesempurnaan Seorang Pria, nampak Cole bingung / rancu dengan tafsirannya sendiri.

Cerita diawali dengan gadis berumur 8 tahun yang menerima transplantasi jantung (Inggris:heart) dari seorang anak gadis berumur 10 tahun yang mati karena diperkosa dan dibunuh. Anak penerima jantung ini diceritakan sering mimpi hal–hal yang dialami pedonor. Singkatnya, melalui mimpi-mimpi ini akhirnya si pembunuh tertangkap. Anehnya, dengan cerita ini Cole mau menunjukkan bahwa hati manusia itu yang terpenting dalam diri manusia. Ia banyak mengutip ayat-ayat Alkitab, misalnya:

“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Jelas di sini yang dimaksudkan Tuhan Yesus dengan kata ‘hati’ sama sekali bukan jantung seperti yang Cole ceritakan di atas. Keduanya sama sekali tidak ada hubungan. Dalam cerita di atas jantung (heart) bersifat jasmani sedangkan hati (heart) di sini bersifat non-jasmani. Bagaimana seorang “nabi” tidak bisa membedakan hal demikian sederhana? Ini suatu analogi dan cara penafsiran yang menunjukkan bahwa Cole tidak memahami hermeneutic dengan baik.
3. Cole menyetujui tafsiran yang salah.

Kembali ke buku Menjadi Pria Sejati, Cole dalam tulisannya menyetujui tafsiran yang salah.

“Beberapa ahli Alkitab berpendapat bahwa Adam diusir dari Taman Eden bukan karena ia berbuat dosa, melainkan karena ia menolak bertanggung jawab atas perbuatannya.”(62)
Siapa yang Cole maksudkan dengan ‘beberapa ahli Alkitab’ di sini? Tetapi pointnya adalah Cole menyetujui penafsiran ini. Apakah jika Adam mau bertanggung jawab ia tidak akan dihukum? Pertanyaan yang lebih serius, apakah mungkin Adam dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya? Jelas ini tafsiran yang tidak bertanggung jawab. Adam diusir karena ia sudah berdosa bukan karena ia tidak mau bertanggung jawab. Dengan menyetujui tafsiran seperti ini Cole sudah meremehkan makna dosa yang sebenarnya.
4. Tafsiran yang dipaksakan menurut subyektifitasnya.

Berulang kali dalam buku-bukunya Cole mengatakan bahwa “Kesempurnaan seorang pria dan keserupaan dengan Kristus adalah hal yang sama.”(63) Motto ini kelihatannya baik, tapi secara exegesis tidak dapat dipertanggung jawabkan. “Manhood and Christ likeness are synonymous” (keserupaan dengan Yesus dan ke-priaan adalah sama). Mari kita lihat prinsip keserupaan dengan Kristus yang dicatat di dalam Alkitab.
2 Korintus 3:18, “Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.”
Filipi 3:10, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya”
Filipi 3:21, “yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya.”
Dari kemunculan ayat-ayat yang berbicara tentang Christlikeness, semuanya sama sekali tidak berbicara khusus untuk pria (manhood), melainkan ayat-ayat ini ditujukan untuk siapapun yang ada dalam Kristus sebagai ciptaan yang baru. Jika Christlikeness hanya ditujukan untuk kaum pria hanya karena Kristus adalah pria, maka bagaimana dengan kaum wanita? Mereka tidak mempunyai figure teladan. Memang Yesus dilahirkan sebagai laki-laki, tetapi Ia tidak secara khusus hanya menjadi teladan bagi laki-laki saja. Ini tafsiran yang dipaksakan dan tidak alkitabiah. Kristus berinkarnasi menjadi pria bukan secara khusus supaya jadi teladan bagi kaum pria. Tetapi, lebih kepada budaya bangsa Yahudi yang patriakat dan kepentingan secara jasmani di mana Ia harus menerima siksaan yang demikian hebat. Semua yang ada dalam diri Yesus (watak, teladan, cara berpikir, ketaatan, dsb), haruslah diteladani oleh semua orang percaya, bukan hanya khusus kaum pria.
5. Cole tidak bisa membedakan tanda (sign) dan substansi

Ini tampak dalam tafsiran Cole tentang figure Abraham sebagai seorang ayah. Ia ingin menunjukkan bahwa ayah yang sejati haruslah melakukan beberapa hal seperti Abraham.

“Pertama, sunatkan anak laki-lakimu. Dalam perjanjian baru pekerjaan penyunatan anak laki ini (secara rohani) sama dengan memastikan bahwa anak-anak anda adalah orang-orang Kristen sejati yang lahir dari Roh Allah.”(64)

Mungkin anda bertanya apa yang salah dengan pengajaran ini? Banyak!
Pertama, perintah sunat sudah digantikan dengan baptisan, pasca masa Tuhan Yesus.
Mengapa Cole justru mengalami kemunduran dengan mengajarkan sunat bukan baptisan kepada pembacanya?

Kedua, tidak ada penyunatan secara rohani dalam masa PB. Semua anak laki-laki dalam PB disunat secara jasmani sebagai perintah Allah melalui Taurat. Bahkan Tuhan Yesus juga disunat secara jasmani. Apa yang Cole maksudkan dengan sunat secara rohani di sini?

Ketiga, yang paling fatal Cole menyamakan kalau anak sudah disunat berarti anak sudah lahir baru. Cole tidak bisa membedakan tanda (sign) dengan substansi. Sunat itu hanya tanda perjanjian Allah dengan Israel. Tanda perjanjian secara fisik (sunat) tidak menjamin seseorang sudah dilahir-barukan. Baik sunat maupun baptisan bukan jaminan seseorang sudah dilahirbarukan. Semua bangsa Israel secara jasmani pasti disunat sebagai tanda, tetapi Allah tetap menolak mereka. Jelas dari statement ini Cole tidak memahami arti sunat/ baptisan dan kelahiran baru dengan benar.
6. Cole sengaja menafsirkan di luar konteks ayat Alkitab

Dalam bukunya Kesempurnaan Seorang Pria bab 19, Cole berbicara tentang peran seorang ayah. Salah satu topik yang ia bahas adalah relasi ayah tiri dengan anak tirinya. Anehnya, Cole mendasarkan pengajarannya dari ayat yang sama sekali tidak berbicara tentang ayah dan anak tiri. Ia mengatakan demikian:
“Prinsip yang diberikan Yesus sangat penting bagi para ayah tiri dan anak-anak tirinya. “Dan jikalau kamu tidak setia dalam harta orang lain, siapakah yang akan menyerahkan hartamu sendiri kepadamu?”(65)
Perhatikan bahwa dalam Lukas 16:12 ini Tuhan Yesus sama sekali tidak berbicara tentang ayah dan anak tiri. Tuhan Yesus berbicara mengenai tanggung jawab kita terhadap uang / mammon. Saya katakan ini kesengajaan, sebab konteksnya sudah jelas bahwa Tuhan Yesus tidak berbicara tentang ayah dan anak tiri. Yang mengherankan, kenapa Cole tidak memakai ayat Efesus 6:1-4 saja, sebab ayat ini sudah jelas berbicara tentang relasi orang tua dan anak terlepas anak tiri atau bukan. Ini menunjukkan berulang kali, bahwa Cole tidak memahami prinsip-prinsip penafsiran yang bertanggung jawab. Ataukah mungkin karena ia merasa diri seorang ‘nabi’ maka ia boleh menafsirkan Alkitab sesuka hatinya?
7. Cole mendasarkan pengajaran dari ayat yang tidak jelas.

Cole bukan hanya berbicara tentang manusia saja, dalam suatu pembahasannya ia menyinggung tentang malaikat.

“Anak-anak membutuhkan seorang ayah, bukan malaikat pelindung. Anak-anak sudah diperlengkapi dengan malaikat pelindung sebagai suatu standard keistimewaan.”(66)
Cole memiliki kebiasaan mengajar sesuatu tanpa memberikan dasar ayat yang jelas dari Alkitab. Ajaran tentang malaikat pelindung (guardian angel) nampaknya Alkitabiah. Siapa yang tidak suka punya pengawal (bodyguard), apalagi seorang malaikat. Alkitab menyatakan bahwa malaikat memiliki banyak tugas yang berhubungan dengan manusia, tapi di mana ada ayat yang mengajarkan bahwa setiap orang memiliki guardian angel? Harap anda pahami bahwa ajaran ini berasal dari pemikiran agama kafir (gentile) yang kemudian diadopsi oleh gereja Roma Katolik. Mereka mendasarkan ajaran ini kepada penyembahan terhadap malaikat tertentu yang akan menjadi pelindung mereka. Francis Turretin, seorang teolog Reformed dalam bukunya Institute of Elenctic Theology dengan jelas memberikan argumennya bahwa ajaran ini tidak Alkitabiah:
“Still we deny that it can rightly be gathered from this that a guardian and tutelary angel is assigned to each believer (Kita tetap menyangkal bahwa tidak dapat dibenarkan ada malaikat pelindung yang ditugaskan kepada setiap orang percaya) (67)
Alkitab justru menunjukkan fakta yang unik mengenai relasi antara malaikat dan manusia. Kadang satu malaikat melindungi banyak orang (Yes 37:36), sebaliknya banyak malaikat diutus untuk menyertai satu orang (Maz 91:11, Kej 32:1-2). Ayat yang sering dijadikan dasar doktrin malaikat pelindung ini adalah Mat 18:10:

“Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga.”

“See that you do not look down on one of these little ones. For I tell you that their angels in heaven always see the face of my Father in heaven” (NIV).
Bagaimana ayat ini harus dimengerti? Hal pertama yang harus diketahui adalah bahwa ayat ini tidak memiliki kekuatan yang jelas untuk mendasarkan bahwa setiap manusia memiliki malaikat pelindung. Perhatikan penuturan Thomas Constable dalam tafsirannya.
“Many interpreters believe that the last part of verse 10 teaches that God has guardian angels who take special care of small children. However the context of verse 10 is not talking about small children but disciples who need to be as humble as small children. Furthermore the angels in this passage are continually beholding God’s face in heaven, not watching the movements of small children on earth… Are there guardian angels for children? I like to think there are because of God’s concern for children (e.g., 19:14-15), but I cannot point to a verse that teaches this explicitly.(68)
(Banyak penafsir yang percaya bahwa bagian terakhir dari ayat 10 mengajarkan bahwa Allah memiliki malaikat pelindung yang akan menjaga anak-anak kecil. Tetapi konteks dari ayat 10 ini tidak berbicara tentang anak kecil, melainkan tentang para murid yang harus merendahkan diri seperti anak kecil. Lagipula, malaikat-malaikat dalam ayat ini selalu memandang wajah Bapa di surga, bukan mengawasi anak-anak kecil di bumi…apakah ada malaikat pelindung bagi anak-anak? Saya hendak mengatakan demikian karena Allah memperhatikan anak-anak kecil (19:14-5), tetapi saya tidak menemukan ayat yang mengajarkan hal ini dengan jelas.”
Hal yang sama juga dikatakan oleh Charles Hodge: “Whether each individual believer has a guardian angel is not declared with any clearness in the Bible (Apakah setiap orang percaya memiliki malaikat penjaga tidak dikatakan dengan jelas dalam Alkitab).(69) Kevin Vanhoozer, Blanchard Professor of Theology di Wheaton College Graduate School (IL), juga menyatakan keberatannya dengan doktrin ini:

“At the other extreme lie the dangers of anthropomorphism (e.g., guardian angels for every individual) and of an unhealthy interest in something about which Scripture is largely silent.”(70)
(Pada sisi ekstrim lainnya ada bahaya dari anthropomorphism (misalnya, malaikat pelindung bagi setiap orang percaya) dan ketertarikan yang tidak sehat kepada sesuatu yang Alkitab sendiri tidak menyatakannya).

Bila para teolog, professor dan penafsir yang lebih berbobot dan akademis dari Cole saja tidak bisa memastikan pengajaran ini, bahkan menolak adanya malaikat pelindung, bagaimana Cole bisa begitu yakin menafsirkan ayat ini dengan benar dan tepat? Cole dalam penjelasannya tidak memberikan argumentasi dan eksegese apa-apa tentang ayat ini.

 

TEOLOGI KEMAKMURAN DAN PERPULUHAN

Selain berbicara tentang semua tema di atas, Cole juga berbicara tentang masalah uang, khususnya tentang persembahan dan perpuluhan.

“Apabila kita memberi, terutama bila kita memberi di luar persepuluhan, kita akan mengalami secara nyata hukum menabur dan menuai. Apabila anda memberi persepuluhan, Allah berjanji akan menyelamatkan anda dari kehancuran yang direncanakan oleh belalang pelahap terhadap anda (Maleakhi 3:11).”(71)
Sekali lagi Cole menafsirkan ayat ini dengan begitu meyakinkan, tetapi salah. Jelas Maleakhi 3:11 di sini berbicara tentang binatang belalang sungguhan. Allah menghalau belalang tersebut agar tidak merusak panen bangsa Israel, sehingga bangsa Israel bisa memberikan perpuluhan kepada Allah. Cole meng-allegori-kan belalang di sini, namun tidak menjelaskan kepada kita apa yang ia maksudkan dengan “belalang pelahap” tersebut. Nampak di sini, motivasi Cole mengajarkan perpuluhan hanya agar kita diberkati (hukum tabur-tuai). Ini nampak dari cerita seorang yang bernama Ruben yang memberikan semua uangnya sebesar 2,20 dolar dan diganti 100 kali lipat.

“Ruben memberikan seluruh uang yang dimilikinya saat itu, yaitu sebesar 2,20 dolar dan menerima balasan seratus kali lipat, masih ditambah dengan suatu pernikahan yang sah, perbaikan hidup bagi anak-anak mereka, kehormatan sebagai seorang pria, iman yang semakin bertumbuh kepada Allah, dan suatu ukuran jati diri pria yang tidak pernah dimiliki sebelumnya.”(72)
Cole ingin menjadikan cerita yang dialami Ruben ini untuk mendorong pembacanya rajin memberikan perpuluhan/ persembahan. Cole lupa bahwa pengalaman tidak bisa dijadikan doktrin. Oleh karena Allah sama sekali tidak mengganti seratus kali lipat seorang janda yang juga memberikan semua uangnya untuk Allah (Markus 12:42-44). Di sini hukum tabur-tuai sama sekali tidak berlaku. Bagaimana Cole menjelaskan hal ini? Tuhan Yesus memang pernah mengatakan kalimat yang menantang dalam Matius 19:29,
“Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.”

Ini salah satu ayat favorit teologi kemakmuran. Tetapi apakah Petrus, Yohanes dan murid-murid lain mendapatkan rumah mereka diganti 100 kali, ladang mereka diganti 100 kali, istri mereka diganti 100 kali? Justru setelah mereka mengikut Tuhan Yesus, mereka tidak punya rumah dan ladang. Tentu saja Tuhan Yesus di sini bukan sedang mengajar matematika perkalian. Ia memakai gaya bahasa hyperbole yang menunjukkan bahwa meskipun kita mengalami kehilangan karena mengikut Kristus ada pemeliharaan Allah dalam bidang yang lain.
“It is difficult to say whether Jesus had in mind material as well as spiritual blessings, although his statement probably means that God will give spiritual blessings for material sacrifices. For example, someone may be rejected by his or her family for accepting Christ, but he or she will gain the larger family of believers with all the love it has to offer.”(73)
(Sulit untuk mengatakan apakah Yesus sedang bicara tentang berkat materi sebagaimana berkat rohani, meskipun dalam ayat ini kemungkinan besar Yesus (Allah) akan memberikan berkat rohani bagi pengorbanan materi. Contoh: seseorang yang ditolak keluarganya karena percaya pada Kristus, ia akan memperoleh keluarga besar orang percaya dengan semua cinta yang ditawarkan).
Selanjutnya, pada bukunya Menjadi Pria Sejati halaman 267, di sana jelas sekali bahwa Cole adalah seorang pengagum Robert Schuller. Siapakah Robert Schuller ini?(73) Robert Schuller adalah seorang pengkotbah TV yang juga adalah gembala dari Crystal Cathedral di Garden Grove, California. Robert Schuller adalah penganut teologi kemakmuran. Ia adalah murid dari pengajar positive thinking Norman Vincent Peale. Maka tidak mengherankan injil yang diberitakan adalah injil kemakmuran dan positive thinking. Ia menafsirkan Alkitab dalam kacamata teologi kemakmuran dan positif thinking ini. Perhatikan apa yang ia katakan tentang beberapa doktrin dasar dalam sebuah wawancara berikut ini:(75)

Question: What is sin? (Apa itu dosa ?)

Answer: “What do I mean by sin? Any human condition or act that robs God of glory by stripping one of his children of their right to divine dignity – Sin is any act or thought that robs myself or another human being of his or her self-esteem.”

(Apa yang saya maksudkan dengan dosa? Segala kondisi manusia atau tindakan yang merampok kemuliaan Allah dengan melepaskan/ mencopot hak anak-Nya untuk memiliki kemuliaan ilahi – dosa adalah tindakan atau pikiran yang merampas diriku atau orang lain dari harga dirinya).

Halaman 68:

Question: What does it mean to be born again? (Apa artinya dilahir-barukan kembali ?)
Answer: “To be born again means that we must be changed from a negative to a positive self image-from inferiority to self-esteem, from fear to love, from doubt to trust.”
(Dilahir-barukan berarti kita harus berubah dari gambaran diri yang negatif ke positif, dari rendah diri ke harga diri, dari takut kepada kasih, dari ragu-ragu ke percaya).(74)

Bahkan Schuller mendefinisikan pribadi Kristus sebagai berikut: “Christ is the Ideal One, for he was Self-Esteem Incarnate” (Kristus adalah yang Ideal One, karena Ia adalah harga diri yang berinkarnasi). Ini semua bukan ajaran Alkitab! Ini adalah Injil yang palsu dan gereja Crystal Cathedral milik Schuller yang dibangga-banggakan Cole sekarang sedang menuju kebangkrutan. Poin yang ingin saya sampaikan dengan penjelasan saya adalah: bagaimana
mungkin bila Cole mengenal kebenaran iman Kristen menyetujui apa yang Schuller ajarkan? Dengan kata lain, hanya orang yang sepaham dengan Schuller yang dapat menyetujui semua apa yang ia ajarkan.

 

KESIMPULAN

Dari semua yang telah dipaparkan dalam bukunya dan melalui analisa dalam makalah ini, beberapa kesimpulan dapat kita ambil:
1. Unorthodox Faith (Iman yang tidak ortodoks)

Banyak pengajaran Cole dalam kedua buku ini tidak dapat dipertanggung jawabkan secara doktrinal. Hampir dapat dipastikan setiap kali Cole berbicara tentang doktrin/ pengajaran
selalu salah bahkan menyesatkan. Cole dengan berani ‘memodifikasi’ doktrin ortodoks dengan pemikirannnya sendiri yang salah & sesat. Dengan kata lain, doktrin yang sudah baku ia tolak dan diganti dengan pengajarannya sendiri/ wahyu yang baru. Anehnya, ia tidak merasa apa yang ditulis ini telah melenceng dari iman yang ortodoks.

“Ketika saya menulis bagian pertama dari buku ini, kuasa Allah hadir dan mempercepat apa yang saya tulis, dan saya merasakan bahwa apa yang ditulis itu begitu baik.”(76)
Cole tidak menyadari bahwa motivasi yang baik saja tidak cukup. Motivasi yang baik harus disertai dan dilandasi dengan pengajaran dan doktrin yang benar. Cole harus ingat bahwa Alkitab bukan hanya berbicara tentang tujuan yang baik, tetapi juga kebenaran yang absolute. Apa yang ia ajarkan dalam gerakan yang dipimpinnya ini memiliki kecacatan teologi yang sangat serius dan parah bahkan kesesatan. Jelas doktrin dasar ajaran/gerakan pria sejati ini
memiliki landasan dan perspektif yang berbeda dengan apa yang kita percayai selama ini.
2. Experience vs Sola Scriptura (Pengalaman lebih penting dari Alkitab)

Meskipun Cole berulang kali menyebutkan dan mengutip Alkitab, tapi jelas dari pemaparannya ia tidak menundukkan diri kepada apa yang Alkitab ajarkan. Penafsiran yang salah dan membabi buta menunjukkan bahwa Cole lebih mementingkan pengalaman dan pemikirannya sendiri daripada apa yang Alkitab ajarkan. Alkitab sepertinya hanya jadi pelengkap saja, bukan landasan dari gerakan ini. Bahkan Cole sering menyelewengkan Alkitab sesuai dengan kemauannya. Ini Nampak dari cara Cole memahami dan menafsirkan Alkitab yang tidak sesuai dengan pemahaman ortodoksi. Ini sesuatu yang berbahaya dan spirit ini yang nampaknya ditularkan dalam gerakan ini, di mana kita seringkali mendengar kalimat “yang penting hasilnya”, “pokoknya dia berubah”, dsb, tanpa mau menganalisa apakah yang terjadi sesuai dengan kebenaran Alkitab atau tidak. Betapapun baiknya suatu visi, bila tidak didasarkan kepada kebenaran Firman Allah yang benar, itu hanya menjadi gerakan humanis semata-mata.
3. Church and the Truth (Gereja dan Kebenaran)

Gereja dipanggil untuk menerangi dunia, memelihara dan meneruskan kebenaran Allah dalam dunia ini. Apa yang menjadi trend dalam suatu jaman belum tentu berasal dari Allah, meskipun kelihatannya baik. Firman Tuhan mengatakan “ujilah segala sesuatu” (1 Tes 5:21). Oleh karenanya dengan semua yang dipaparkan di dalam bukunya dan melalui analisa dan kritik dalam makalah ini, sudah sewajarnya dan seharusnya gereja dengan tegas menolak dan menghentikan gerakan dan ajaran ini.

Gereja yang hanya memfokuskan kepada phenomena akan melupakan noumena dibaliknya yaitu ajarannya. Kebenaran (truth) harus di atas kebaikan (goodness). Kebenaran harus di atas hasil (result). Kita jangan hanya melihat kebaikan dan hasil dari ajaran ini dan melupakan kebenaran Alkitab. Bila kita perhatikan, kesalahan-kesalahan yang ada dalam buku-buku Cole ‘terselip dan tersembunyi’ dengan aman di balik kata-kata yang indah. Jemaat dan hamba Tuhan yang tidak memiliki kepekaan tidak akan melihat kesesatan pengajaran ini.
Apa yang harus gereja lakukan? Melalui pengalaman ini, gereja harus mulai disadarkan bahwa tidak ada jalan lain untuk membendung segala pengajaran yang salah dan sesat selain kembali kepada pengajaran Firman yang sehat dan bertanggung jawab. Ada 3 sarana yang harus dimaksimalkan dalam membekali jemaat dengan kebenaran Firman. Pertama, mimbar yang kuat dan bertanggung jawab. Kedua, kelas pembinaan yang efektif dan terintegrasi. Ketiga, persekutuan komisi yang betul-betul membahas Firman Tuhan, bukan membahas tema-tema yang tidak ada relevansinya dengan kerohanian/ Firman Tuhan.
Hamba Tuhan memiliki tanggung jawab terbesar dalam menjaga kemurnian pengajaran dan memberi makanan rohani yang sehat bagi jemaat. 1 Tim 4:16 mengatakan: “awasilah dirimu dan awasilah ajaranmu!” Ini adalah perintah yang harus senantiasa kita ingat sebagai hamba Tuhan. Demikian juga kepada majelis, mereka adalah pendamping hamba Tuhan yang diberikan Allah bagi gereja-Nya. Majelis adalah orang yang “memelihara rahasia iman dalam hati nurani yang suci” (1 Timotius 3:9). Oleh karenanya majelis juga bertanggung jawab kepada Allah dalam menjaga domba-domba, bukan sekedar mengurus hal-hal yang administratif belaka. Oleh sebab itu setiap majelis harus membekali diri dan menuntut diri untuk lebih mengerti kebenaran Firman Tuhan, agar pada saat yang dibutuhkan mereka dapat menyatakan kebenaran.
Terakhir, sebagai suatu antisipasi di masa yang akan datang, maka gereja harus mulai memikirkan adanya Departemen Teologi yang mempunyai tugas untuk menyeleksi hamba Tuhan, mengevaluasi kotbah dan pengajaran baik di mimbar atau persekutuan dan termasuk menjadi ‘menara pengawas’ terhadap ajaran-ajaran yang tidak bertanggung jawab.

___________________________________________________________________________

Footnotes:

1 Sumber: Wikipedia Free Encyclopedia dengan topic “Edwin Louis Cole.”

2 Anda juga pasti tidak mau pergi ke “dokter” yang tidak pernah sekolah medis. Anda pasti akan merasa safe ketika pergi ke dokter yang memang benar-benar sekolah medis dan diakui.
3 Kemungkinan pertama sangat kecil atau bahkan tidak mungkin. Manusia dalam dirinya adalah mahluk yang butuh pengakuan. Semua orang yang pernah bersekolah dan memiliki gelar cenderung akan menyebutkannya pada saat ia menuliskan sebuah buku, membuat kartu nama, dsb. Saya sudah membaca banyak buku, tidak ada orang yang memiliki gelar akademis tetapi tidak menuliskannya dalam judul bukunya atau paling tidak dituliskan dalam biografi penulis.

4 Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, Edisi Revisi (Jakarta: Metanoia, 2003), hal 5.
5 Flip cover sampul halaman belakang buku “Menjadi Pria sejati”

6 Donald McKim (Editor), Cambridge Companion to John Calvin (United Kingdom: Cambridge University Press, 2004), hal 156 (Ebook). Bandingkan juga pemikiran Calvin dalam Calvin: Institutes of the Christian Religion 2, Ed. John T. McNeill (Philadelphia : The Westminster Press), hal 1057-1061.

7 Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hal 5.

8 Ibid., hal 2.

9 Ibid, halaman prakata.

10 Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, Edisi Revisi (Jakarta: Metanoia, 2006), hal 140.
11 Ibid., hal 141.

12 Tidak mengherankan didalam camp/ retreat yang diadakan oleh gerakan CMN ini, banyak orang berteriak di tengah-tengah kotbah “123 Yes..Yes..” berulang-ulang. Inikah ibadah yang intim dan berkenan kepada Tuhan?

13 Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hal 141-142.

14 Ibid., hal 147.

15 Ibid, hal 142-143.

16 Ibid., hal 143.

17 Ibid., hal 143.

18 Ibid., hal 150.

19 Ecumenical Creeds and Reformed Confession (Grand Rapids : CRC Publication, 1988), hal 82.

20 Alister McGrath, The Genesis of Doctrine (Grand Rapids : Eerdmans, 1990), hal 172.
21 Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, Edisi Revisi, hal 148.

22 Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hal 151.

23 Ibid, hal 15.

24 Ibid., hal 40.

25 Ibid., hal 173

26 Donald McKim ,ed. , Reading in Calvin’s Theology (Grand Rapids: Bakerbook House, 1984), Calvin’s view of Scripture by Donald McKim, hal 58.

27 Timothy George, Theology of the Reformers (Nashville : Broadman Press,1988), hal 197.
28 Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hal 7- 8.

29 Ibid., hal 168.

30 Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hal 135.

31 Ibid., hal 270.

32 Kritik ini juga berlaku pada point di mana Cole mengklaim diri sebagai nabi Allah.
33 Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hal 8.

34 Ibid., hal 64.

35 Ibid., hal 9.

36 Ibid., hal 47.

37 Ini salah satu contoh dari apa yang Cole katakan bahwa ibadah yang formal berarti jauh dari wahyu Allah. Ibadah yang ia lakukan seperti ini berarti ‘intim’ dengan Allah. Benarkah KKR seperti ini intim dengan Yesus, atau sebaliknya tidak hormat kepada pribadi Yesus?
38 Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hal 20.

39 Ibid., hal 223-224.

40 Ibid., hal 9.

41 Ibid., hal 47.

42 Ibid., hal 228.

43 Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hal 45.

44 Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hal 130.

45 Kevin J. Vanhoozer, Remythologizing Theology: Divine Action, Passion, and Authorship (United Kingdom: Cambridge University Press, 2010), hal 269. (Ebook)

46 Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hal 46.

47 G.I Williamson, The Westminster Confession of Faith (Philadelpia : P&R, 1964), hal 56.
48 Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hal 44.

49 Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hal 93.

50 Ibid., hal 138.

51 Cornelius Van Til, An Introduction to Systematic Theology (New Jersey : P&R,1974), hal 105.
52 Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hal 72.

53 Louis Berkhof, Systematic Theology (Grand Rapids : Eerdmans, 1991), hal 469.
54 Ibid., hal 468.

55 NIV : 2 Pet 1:4, “Through these he has given us his very great and precious promises, so that through them you may participate in the divine nature and escape the corruption in the world caused by evil desires.”

56 Richard J. Bauckham, Word Biblical Commentary, Volume 50: Jude, 2 Peter (Dallas, Texas: Word Books Publisher, 1998).

57 Kevin J. Vanhoozer, Remythologizing Theology: Divine Action, Passion, and Authorship (United Kingdom: Cambridge University Press, 2010), p. 282 (Ebook).

58 Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hal 86.

59 Ibid., hal 8.

60 Ibid., hal 8.

61 Ibid., hal 9.

62 Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hal 227.

63 Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hal 137.

64 Ibid, hal 161.

65 Ibid., hal 162.

66 Ibid., hal 113.

67 Francis Turretin, Institute of Elenctic Theology, Vol 1 (New Jersey: P& R,1992), hal 558.
68 Thomas Constable, Notes On Matthew, 2002 edition, hal 233-234 (Ebook).
69 Charles Hodge, Systematic Theology Vol 1 (Grand Rapids: Eerdmans,1993), hal 640.
70 Kevin J. Vanhoozer, Remythologizing Theology: Divine Action, Passion, and Authorship, p. 250 (Ebook).

71 Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hal 272.

72 Ibid., hal 274.

73 Life Application Bible Commentary: Matthew 19:29 . Program Quickverse.
74 Untuk info yang lebih utuh tentang Robert Schuller, apa yang ia ajarkan, kunjungi website misalnya: www.letusreason.org

75 Another possible gospel of Robert Schuller’s, available from www.letusreason.org
76 Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hal 165.

___________________________________________________________________________

JAWABAN SINGKAT ATAS BEBERAPA SANGGAHAN

1.        Kalau belum ikut gerakan ini jangan menghakimi dulu .

Memang kalimat ini ada benarnya bila diaplikasikan untuk hal-hal yang tidak bersifat etika atau moral/ dosa. Misalnya, soal makanan, tempat rekreasi, dll. Tetapi bila menyangkut hal-hal yang bersifat moral apalagi dosa, pernyataan ini sama sekali tidak tepat. Untuk mengatakan bahwa berzinah itu dosa, tidak perlu kita harus mencobanya terlebih dahulu. Untuk mengatakan berjudi itu dosa tidak berarti kita harus berjudi dulu, dsb. Termasuk untuk ajaran sesat, tidak perlu kita ikut dulu baru boleh mengatakan sesat. Tuhan Yesus berulang kali menghardik orang Farisi dan ahli taurat tanpa pernah ia harus ikut-ikutan jadi farisi terlebih dahulu. Kita harus bisa membedakan kapan prinsip ini dipakai.

2. Pembahasan dalam buku ini tidak fair karena tidak melibatkan nara sumber.
Jangan lupa bahwa Edwin Louis Cole adalah nara sumber di atas segala nara sumber gerakan pria sejati. Ia adalah pendiri gerakan ini. Justru pembahasan dalam makalah ini didasarkan apa yang dituliskan oleh pendirinya sendiri, first source (sumber utamanya). Buku/tulisan seseorang sudah cukup representative untuk menunjukkan teologi dan cara berpikir seseorang. Oleh karenanya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa pembahasan ini tidak fair, karena semua yang tercantum dalam makalah ini dapat dibuktikan berasal dari tulisan-tulisan Cole sendiri.

3. Yang penting khan hasilnya! Banyak orang berubah karena mengikuti gerakan ini.
Memang kalimat ini sering saya dengar. Setelah ikut gerakan ini orang berubah, rajin
baca Alkitab, rajin melayani, dsb. Ini cara berpikir yang salah. Dalam menilai sesuatu, sekali lagi jangan hanya dilihat dari fenomenanya. Mengapa demikian? Sebab saya jamin kalau orang tersebut ikut gerakan saksi Jehovah, ia akan lebih rajin baca Alkitab. Bahkan, bukan saja membaca tetapi menggali Alkitab. Ia juga akan lebih rajin melayani , dsb. Oleh karenanya jangan terjebak hanya melihat hasil dan memetingkan hasil. Ini adalah cara berpikir pragmatis dan utilitarian. Apakah anda juga setuju seseorang merampok demi mengobati anaknya yang sakit? Bagaimana jika anda yang jadi korbannya? Tentu saja tidak bisa demikian. Hal yang sama juga berlaku dalam menilai suatu gerakan/ ajaran.

4. Gerakan ini banyak pengikutnya. Bahkan, banyak Hamba Tuhan gereja Injili ikut gerakan ini.Ini menunjukkan gerakan ini benar!

Tuhan Yesus dalam pelayanannya sama sekali tidak pernah mementingkan kuantitas, bahkan dalam Yoh 6 Ia mengusir semua orang yang mengikuti Dia tanpa motivasi yang benar. Benar tidaknya suatu gerakan sama sekali tidak ditentukan oleh jumlah pengikutnya. Saksi Jehovah jauh lebih banyak pengikutnya dari gerakan pria sejati ini, lalu apakah kita katakan gerakan ini benar? Banyak Hamba Tuhan Injili ikut gerakan ini karena mereka kemungkinan besar belum membaca buku Cole atau sudah membaca tetapi tidak menganalisa dengan teliti, sehingga apa yang tertulis seolah baik-baik saja. Padahal bila diteliti kita akan menemukan banyak penyimpangan bahkan kesesatan di dalam tulisan-tulisannya.

5. Tulisan dalam buku ini salah terjemahan!

Buktikan dulu kepada saya bahwa apa yang tertulis dalam buku-buku ini salah terjemahan. Harus diingat bahwa buku-buku ini sudah dicetak berulang kali tetapi tidak ada perubahan apa-apa. Ini menunjukkan bahwa memang tidak ada hal yang perlu diterjemahkan ulang. Salah terjemahan biasanya terjadi satu atau dua kalimat saja, tetapi buku ini hampir setiap halaman menunjukkan kesalahan / kesesatan. Sesuatu yang tidak lazim bila hampir setiap
halaman salah terjemahan ! Kalaupun buku ini salah terjemahan, harap diingat bahwa buku-buku ini sudah diterbitkan dan dibaca ribuan orang Kristen di seluruh Indonesia. Bagi saya semuanya harus bertanggung jawab. Yang menulis, menterjemahkan dan menerbitkan, semua harus bertanggung jawab atas apa yang tertulis dalam buku ini.

6. Gerakan ini dipimpin oleh hamba Tuhan terkenal berkelas international, jadi pasti benar.
Tidak ada jaminan suatu gerakan kalau dipimpin seorang yang terkenal pasti benar. Bila demikian rumusnya, maka ajaran Tuhan Yesus pasti salah, sebab Ia bukan pembicara kelas dunia. Ia bukan pembicara terkenal. Ia tidak pernah berceramah di luar Israel, dsb. Jadi benar tidaknya suatu gerakan bukan dinilai dari terkenal atau tidaknya pendirinya, melainkan pada isi ajarannya.

7. Bagaimana jika ajaran Pria Sejati kita betulkan yang salah, lalu kita bawa masuk ke gereja?
Kita harus tahu bahwa sesat itu berbeda dengan salah. Yang sesat pasti salah, tapi yang salah belum tentu sesat. Yang salah masih bisa diperbaiki, yang sesat tidak mungkin diperbaiki. Dari pembahasan yang telah kita lihat di atas, ajaran Pria Sejati bukan sekedar salah. Gerakan ini sudah menjurus kepada ajaran sesat. Misalnya : Yesus adalah ciptaan, perlu dilahir-barukan, perlu pengampunan, dsb. Tidak percaya Alkitab sudah selesai diwahyukan, menganggap diri nabi, tidak percaya dosa asal, dsb. Oleh karenanya tidak perlu ‘memperbaiki’ ajaran ini lalu membawa masuk ke dalam gereja. Lagipula menurut saya, tidak ada hal yang istimewa dalam ajaran ini, bahkan sebaliknya banyak doktrin yang sesat di dalamnya. Untuk apa dan dalam kepentingan apa ajaran seperti ini diajarkan kepada jemaat kita? Bukankah gereja sudah punya dasar pengajaran sendiri?

8. Pembahasan dalam makalah ini tidak komprehensif karena hanya membahas dua buku Cole, sementara Cole menulis banyak buku. Mengapa tidak semuanya dibahas?
Memang lebih baik membahas semua tulisan seseorang, tetapi kita harus sadar bahwa pembahasan tema ini juga dibatasi oleh waktu, sehingga tidak memungkinkan untuk membahas satu per satu buku Cole. Dengan membahas dua buku ini saja sudah menemukan banyak kesalahan dan kesesatan, apalagi membahas semua buku-buku Cole. Kedua buku ini menurut saya sudah cukup mewakili pemikiran Cole dan melalui makalah ini seharusnya anda mulai bisa mengkritisi buku-buku Cole yang lainnya.
“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” (II Timotius 3:16-17)

 

Soli Deo Gloria.


* Ev. Calvin Renata, M.Div., adalah Hamba Tuhan / Penginjil di GKA GLORIA Surabaya

(Tulisan ini mulanya adalah dalam format PDF dan diformat / diedit ulang tanpa mengurangi satupun kata didalamnya)

 

PERAN PENGGEMBALAAN MENYIKAPI GERAKAN PERTUMBUHAN GEREJA January 12, 2011

Oleh Pdt. Dr. Yarman Halawa

(disampaikan dalam Seminar Pertumbuhan Gereja yang diselenggarakan oleh Sinode Gereja Kristen Abdiel (Sinode GKA) bekerjasama dengan Persekutuan Gereja-Gereja Injili Surabaya (PGIS), 30-31 Agustus 2010)


Pendahuluan

Melaksanakan tugas dan tanggungjawab penggembalaan gereja ditengah berbagai isu mengenai Pertumbuhan Gereja pada hari ini bukanlah perkara yang mudah. Kondisi ini  sangat terasa didalam gereja-gereja yang memiliki dasar pengakuan iman. Penggembalaan gereja menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menimbulkan pastoral pressures yang pelik dan berkepanjangan. Beberapa diantara pertanyaan itu adalah: Apakah tepat melibatkan diri didalam trend gerakan Pertumbuhan Gereja hari ini? Haruskah mengikuti pelatihan-pelatihan Pertumbuhan Gereja yang sedang marak saat ini? Haruskah memasukkan musik kontemporer dalam pelayanan ibadah? Haruskah mengadopsi beberapa gerakan rohani yang berakar dari metode-metode psikologi? Haruskah mengikuti apa yang merupakan kemauan dan keinginan jemaat bagi kehidupan rohani mereka?
Pertumbuhan Gereja sejak permulaan munculnya telah menjadi kata “ajaib’ dalam lingkup kehidupan gereja hingga pada hari ini. Para pemimpin gereja berupaya untuk  mencari metode-metode dengan harapan akan mampu menarik sebanyak mungkin orang masuk kedalam gereja. Tidak jarang juga metode yang sebenarnya sudah ada kembali dipopulerkan dengan beberapa penambahan variasi disana-sini yang pada akhirnya  berhasil dibeberapa tempat.[1] Sangat menyedihkan bahwa ternyata didalam upaya untuk mendapatkan pertumbuhan yang dimaksud, tidak jarang gereja mengadopsi segala macam metode yang ditawarkan dengan mengesampingkan unsur yang bersifat fundamental terutama doktrin yang benar yang seharusnya dipegang. Sepertinya unsur yang sangat vital ini tidak lagi menjadi pertimbangan penting asalkan metode-metode tersebut memberi kemungkinan bagi pertumbuhan gereja terutama dari segi kuantitas yang bersifat cepat dan instan. Tidak jarang gereja-gereja yang seharusnya memiliki doktrin yang solid –termasuk dalam hal ini mainline churches – entah dengan alasan “sukarela” atau “terpaksa” jajan – menerapkan metode-metode pertumbuhan gereja tanpa ada penyelidikan terlebih dahulu dengan harapan bahwa keberhasilan yang diraih oleh gereja-gereja tertentu yang telah menerapkannya dapat pula terjadi didalam gerejanya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya bisa saja bervariasi. Paling sederhana adalah disamping ‘kerinduan’ menjangkau jiwa bagi Tuhan juga keinginan untuk ‘memperbesar’ gereja dari gereja berskala kecil menjadi gereja berskala besar (mega-church).

Tetapi ada factor lain yang justru lebih penting dan dominan; yakni, lemahnya penggembalaan gereja dalam segi pengawasan doktrin, kurangnya kepekaan serta kemampuan menganalisis kelemahan-kelemahan fatal dari metode yang merupakan produk dari gerakan Pertumbuhan  Gereja, adanya tekanan dari dalam terutama berkaitan dengan kondisi gereja yang stagnan dan kecenderungan makin menurunnya kuantitas jemaat yang tentunya mempengaruhi daya dan kemampuan gereja yang memunculkan tekanan psikologis bagi para pemimpin terutama mereka yang menjadi gembala sidang gereja. Tidak adanya integritas didalam wawasan berteologia menjadi factor utama lainnya yang membuka pintu bagi sikap kompromi yang pada akhirnya justru menimbulkan  permasalahan tersendiri. Tidak dapat disangkali bahwa banyak pemimpin gereja, terutama para Gembala Sidang gereja pada akhirnya justru menjadi promotor bagi Gerakan Pertumbuhan Gereja. Tidak mengherankan jika dewasa ini terjadi “perkawinan campur” antara kelompok-kelompok mainline churches dengan kelompok-kelompok Kharismatik yang notabene merupakan kelompok-kelompok yang paling getol didalam mempromosikan gerakan Pertumbuhan Gereja dengan berbagai variasinya pada hari ini.[2]

Memahami Akar dan Teologi Pertumbuhan Gereja

Harus diingat bahwa setiap gerakan tidak terlepas dari akar gerakan itu berasal dan teologi yang melatar-belakanginya pada masa lalu. Berikut beberapa gerakan penting yang muncul dalam kekristenan di Amerika yang kemudian memberi pengaruh yang sangat besar dalam gerakan Pertumbuhan Gereja pada hari ini (termasuk di Indonesia) yang harus diketahui dan diingat oleh setiap pemimpin gereja terutama para gembala sidang gereja didalam upaya-upaya untuk mencapai pertumbuhan bagi gereja mereka pada hari ini.
1. Gerakan Kebangunan Injili (Evangelical Revivalism)

Gerakan Pertumbuhan Gereja modern tetap tidak dapat dipisahkan dari sejarah kebangkitan gerakan rohani yang pada awalnya muncul dari kalangan Injili. Apa yang disebut dengan Kebangkitan Besar yang dimulai di Amerika Serikat dalam kurun waktu c. 250 tahun (1730an hingga 1980an) telah membuka pintu ke arah gerakan Pertumbuhan Gereja modern yang puncaknya adalah munculnya trend “mega-church” sebagai dampak dari Kebangkitan Besar Keempat. Tidak dapat disangkali bahwa Kebangkitan-Kebangkitan Besar yang melanda Amerika telah mendorong apa yang disebut sebagai ‘pelipatgandaan gereja’ yang pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan “mega-church” itu. Berikut alurnya secara singkat:

1.      First Great Awakening / Revival (1730-1760) dimana para tokoh utamanya seperti George Whitelfield, Jonathan Edwards adalah hamba-hamba Tuhan yang masih menekankan Calvinism/Reformed Theology. Inilah kebangkitan kaum Injili yang pertama.

2.      Second Great Awakening (1790-1840) yang ditandai dengan peralihan konsep kebangunan rohani dari Calvinism ke konsep Arminianism. Salah seorang tokoh terpenting yang paling berpengaruh adalah Charles Grandison Finney.[3] Ia mengajarkan bahwa pertobatan merupakan tindakan dari kehendak manusia.  Orang-orang yang tidak percaya perlu dididik, dimotivasi, dan digerakkan melalui emosi mereka untuk memilih kehidupan yang kudus. Pengaruhnya masih tetap terasa dan terlihat sampai pada hari ini didalam gereja-gereja terutama gereja-gereja Kharismatik.[4]

3.      Third Great Awakening (1850an-1900an) lahirnya Social Gospel Movement, Holiness Movement dan Pentacostalism. Pengaruh Charles G. Finney terlihat dalam teologia Arminian yang diusungnya dan konsep-konsep social yang dipopulerkannya dan mewarnai gerakan-gerakan yang lahir pada masa itu.

4.      Fourth Great Awakening (1960-1980) lahirnya Jesus Only Movement, Neo-Pentacostalism/Charismatic Movement dengan penekanan pada sign and wonders, glosolalia, kesembuhan ilahi dan nubuatan-nubuatan baru atau wahyu-wahyu baru. Fourth Great Awakening ini memiliki ciri khas yang berbeda dengan ketiga Kebangkitan Besar sebelumnya, yakni dimulainya trend “mega-church.” Mega-church sebagaimana dikatakan menarik perhatian yang luarbiasa oleh karena alasan yang sangat sederhana  bahwa 10 gereja dengan 2000 anggota lebih ‘kelihatan’ daripada 100 gereja dengan 200 anggota.[5]

Perlu diingat bahwa sejak Second Great Awakening (Kebangkitan Besar Kedua) hingga Fourth Great Awakening (Kebangkitan Besar Keempat), pengaruh Charles G. Finney telah membawa dampak yang sangat besar didalam gereja-gereja Injili hingga hari ini. Ia telah menjelma menjadi penyebab dari beberapa tantangan dan permasalahan terbesar didalam gereja-gereja Injili pada hari ini, seperti problem seputar gerakan Pertumbuhan Gereja, problem dampak Kharismatik, dan politisasi kekristenan. Maka sangatlah tepat bila Dr. Michael S. Horton menyebutnya sebagai “orang yang paling bertanggungjawab terhadap penyimpangan doktrin yang melanda kekristenan pada hari ini.”[6] Konsep-konsep radikalnya agar hamba-hamba Tuhan menemukan Injil yang “bekerja”[7] memberi dampak, langsung maupun tidak langsung telah menjadi motif utama dalam Gerakan Pertumbuhan Gereja masa kini. Maka tidaklah mengherankan apabila konsep Pertumbuhan Gereja memunculkan pemahaman bahwa teologi terletak didalam Pertumbuhan Gereja dan bukan pada pengakuan dasar dari apa yang gereja percayai. Atau dengan kata lain, Pertumbuhan Gereja adalah kunci untuk memahami (bahkan untuk menerima) prinsip-prinsip pengakuan dasar dari gereja. Tentu saja ini tidak benar!

2. Gerakan Kaum Injili Baru (Neo-Evangelicalism)[8]

Gerakan ini pada awalnya muncul pada tahun 1942 dengan berdirinya the National Association of Evangelicals (NAE) dan berusaha menjangkau kebudayaan kepada Injil. Kehadiran lembaga ini adalah untuk mengimbangi kelompok Fundamentalis yang telah terlebih dahulu membentuk American Council of Christian Churches (ACC).  American Council of Christian Churches  sendiri merupakan lembaga yang dibentuk sebagai reaksi atas terbentuknya Federal Council of Christian Churches (FCC) yang merupakan wadah organisasi gereja-gereja yang menganut teologi Liberal yang sedang berupaya untuk mempengaruhi kekristenan di Amerika Serikat.  National Association of Evangelicals (NAE) yang mengusung teologia Injili menjadi jawaban alternatif bagi mereka yang menolak teologi liberal, namun juga tidak setuju dengan sikap dan cara-cara yang diperagakan oleh kaum Fundamentalis.  Kaum Injili menjadi kuat setelah pada tahun 1947 berdiri Fuller Theological Seminary (FTS) di Pasadena-California dan makin ditegaskan melalui penerbitan majalah kaum Injili, Christianity Today pada tahun 1956.  Kaum Injili baru ini merambah ke seluruh dunia melalui lembaga-lembaga mitra gereja (parachurch) yang mereka miliki, yaitu Youth for Christ (dengan tokohnya yang terkenal, pendeta Billy Graham) dan Campus Crusades for Christ yang fokus pelayanannya terutama untuk menjangkau para pemuda dan mahasiswa. Dapat juga dikatakan bahwa peran Fuller Theological Seminary (FTS) sangat penting didalam mempromosikan gerakan Injili ke seluruh dunia dan sekaligus menjadi tempat pelatihan bagi para gembala gereja dalam kelompok Evangelical. Donald McGavran, yang dianggap sebagai pendiri Gerakan Pertumbuhan Gereja modern melalui Sekolah Misi Dunia (School of World Mission) dan Institut Pertumbuhan Gereja (Institute of Church Growth) yang dipimpinnya berhasil mempromosikan pentingnya gerakan Pertumbuhan Gereja untuk menjangkau orang kepada Kristus dan melipatgandakan gereja.

Namun sayangnya, dua puluh tahun kemudian (1960an) gerakan yang semula bercita-cita untuk mempengaruhi kebudayaan kepada Kristus justru berubah arah dengan memunculkan sikap berteologia yang baru.[9] Beberapa penyebabnya adalah sikap yang cenderung mudah mengubah sikap terhadap Alkitab,[10] kecenderungan pada positivisme,[11] kecenderungan pada kebebasan yang tanpa kontrol,[12] kecenderungan pada keterbukaan tanpa kontrol.[13] Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa kecenderungan-kecenderungan ini telah membawa dampak yang buruk bagi Pertumbuhan Gereja yang sehat. Misalnya C. Peter Wagner yang merupakan orang kedua yang menjadi tokoh gerakan Pertumbuhan Gereja modern -menggantikan Donald McGavran- kemudian beralih kedalam ‘gerakan rasuli dan Kharismatik.’ Prinsip-prinsip dan pandangan-pandangannya mengenai Pertumbuhan Gereja telah turut menjembatani “pertemuan” antara mainline churches dengan gerakan-gerakan dalam arus Kharismatik. Neo-Evangelical secara langsung maupun tidak telah mendorong lahirnya beberapa gereja ‘gaya baru’ melalui berbagai pengembangan metode dalam arus gerakan Pertumbuhan Gereja pada kurun dasawarsa 1980an dan 1990an. Beberapa diantaranya yang paling terkemuka adalah: The Seven-Day-a-Week-Church (Gereja Tujuh Hari Seminggu) oleh Lyle Schaller, The MetaChurch (Gereja Meta / Gereja Sel) oleh Carl George,  The User-Friendly Church (Gereja yang Mudah Digunakan) oleh George Barna, A Church for the Twenty-first Century (Gereja untuk Abad Keduapuluh Satu) oleh Leith Anderson, The Seeker Sensitive Church (Gereja Yang Peka Terhadap Pencari) oleh Bill Hybels, The Church for the Unchurched (Gereja bagi yang Belum Bergereja) oleh George Hunter, The Purpose Driven Church (Gereja yang Digerakkan oleh Tujuan) oleh Rick Warren, Natural Church Development (Gereja Yang Berkembang Secara Alamiah) oleh Christian A. Schwarz, dan The Aqua Church (Gereja Aqua) oleh Len Sweet. Tidak terlalu berlebihan bila mengatakan bahwa gereja-gereja “gaya baru“ yang merupakan hasil dari pengembangan berbagai metode Pertumbuhan Gereja modern ini adalah gereja yang “digerakkan oleh pasar.”[14]

Banyak teolog/gembala dalam pengaruh neo-Evangelical mereduksi kebenaran mengenai dosa manusia, penebusan oleh darah Kristus, dan ajaran mengenai penghukuman kekal[15] oleh karena dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan atau zaman dan kondisi manusia serta  mengedepankan humanisme (positivism dan keterbukaan), luapan emosi/perasaan, unsur-unsur psikologi, musik kontemporer, karunia-karunia rohani tertentu, wahyu-wahyu baru, dan sebagainya yang pada hakekatnya bertujuan untuk membuat manusia menjadi ‘nyaman’ dengan dirinya sendiri.
3. Gerakan Hujan Akhir (Latter Rain Movement)

Gerakan ini mulai lahir pada tahun 1948 di North Battleford, Saskatchewan, Kanada diantara gereja-gereja the Sharon Brethren Pentecostal dan mempengaruhi kelompok-kelompok Pentakosta dan Injili. Teologi Kharismatik berkaitan dengan charismata, berkata-kata dan menyanyi dalam bahasa lidah/glosolalia, praktek penumpangan tangan bagi “baptisan dalam Roh” telah menjadi unsur-unsur kesesatan yang memasuki gereja. Munculnya gerakan Jesus Only[16] yang mempopulerkan “signs and wonder” juga telah menambah masuknya unsur-unsur heretic-okultism kedalam gerakan Hujan Akhir (the Latter Rain Movement) ini.

Meskipun Gerakan Hujan Akhir (The Latter Rain Movement) sendiri telah dinyatakan oleh The Pentecostal Assemblies of God[17] sebagai bidat pada tahun 1959, namun pengajarannya terus hidup melalui seorang yang bernama Demos Shakarian dan Full Gospel Businessmen’s Fellowships yang dipimpinnya dan memunculkan The Latter Rain Movement ini dengan nama baru pada tahun 1960an sebagai The Charismatic Movement[18] yang segera meraih simpati banyak orang termasuk tokoh gerakan Pertumbuhan Gereja modern seperti C. Peter Wagner. Berbeda dengan Pentakosta lama (yang dianggap sebagai “gerakan hujan awal”); maka, Latter Rain Movement ini yang juga disebut sebagai Neo-Pentacostalism atau Kharismatik ini mempromosikan pemulihan dari seluruh karunia rohani dan berupaya ‘memulihkan’ otoritas perjanjian baru melalui apa yang mereka sebut sebagai para rasul dan para nabi modern. C. Peter Wagner, yang merupakan penerus Donald McGavran dalam Gerakan Pertumbuhan Gereja beralih ke dalam gerakan ini dan bahkan menyebut dirinya sebagai ‘rasul’ bersama-sama dengan John Wimber (Toronto Vineyard Fellowship)[19] mempromosikan “signs and wonders” dalam gerakan Kharismatik. Wagner menjadi salah satu pemimpin utama dalam gerakan ini. Maka tidaklah mengherankan dalam gerakan Pertumbuhan Gereja pasca Donald McGavran sampai pada hari ini, dipengaruhi dengan sangat kuat oleh unsur-unsur Kharismatik, dimana karunia-karunia rohani tertentu dijadikan sebagai daya tarik untuk menarik banyak orang.[20]

Salah satu dampak lain dari Latter Rain Movement ini dalam ibadah -yang juga sangat berpengaruh kedalam mainline churches– hari ini adalah pengaruh dari pengajaran pemulihan “Davidic Tabernacle Worship.” Dimana ibadah dimulai dengan membangkitkan emosi jemaat, nyanyian yang terus-menerus diulang-ulang untuk membawa jemaat masuk kehadirat Allah. Ini menjadi format ibadah Kharismatik yang pada hari ini juga telah masuk kedalam gereja-gereja dalam kelompok mainline churches. Ciri khas lainnya yang bisa dilihat dari gerakan ini adalah promosi karunia-karunia rohani terutama penglihatan, kesembuhan ilahi, wahyu-wahyu baru, kesuksesan, blessing, pemulihan (diri, keluarga, usaha, financial, kesehatan). Selain itu pengerahan massa (terutama kaum muda) beserta konser-konser musik dan lagu-lagu kontemporer merupakan andalan mereka didalam meraih “kesuksesan ibadah”[21] yang biasanya mereka sebut sebagai ibadah yang inspiratif dan penuh jamahan Roh Kudus. Hal-hal yang bersifat artificial inilah yang seringkali dianggap sebagai sebuah ‘pertumbuhan’ !

4. Post-Modernism

Post-Modernism menolak  peran dan keabsahan dari kebenaran yang absolut. Para teolog Post-Modernism menyarankan hermeneutika Alkitab yang menolak kebenaran objektif yang diberitakan oleh Alkitab. Mereka beranggapan bahwa kebenaran yang sesungguhnya datang dari perspektif para pembaca dan bukan hanya dari dalam Alkitab sendiri dan menganggap bahwa kebenaran dengan sendirinya akan terjadi ketika itu sesuai dengan harapan dan pengalaman mereka.
Ciri khas pengaruhnya dalam gereja pada hari ini adalah sikap yang “ramah dan bersahabat’ terhadap ajaran pokok kekristenan dengan prinsip bahwa kebenaran harus dibicarakan tanpa menentang kesalahan / dosa, atau mengajarkan doktrin tanpa perlu menimbulkan polemik. Jadi kebenaran yang sebenarnya bukan ada pada apa yang diajarkan Alkitab tetapi terletak pada apa yang dianggap atau dipikirkan oleh manusia sebagai  kebenaran. Post-Modernism mengusung semangat relativisme dengan mendengungkan motto “memutlakkan segala sesuatu adalah relatif.” Hasil yang muncul dari kerusakan berpikir ini adalah bahwa pada akhirnya didunia tidak ada satupun yang pasti sehingga sikap-sikap yang menghakimi, mengkritik atau member penilaian terhadap apa yang benar dan apa yang salah harus dibuang jauh-jauh. Maka tidaklah mengherankan bila para pemimpin gereja (terutama gembala sidangnya) yang terkontaminasi cara pandang seperti ini akhirnya menjadi pemimpin yang labil yang begitu mudah kompromi dalam mengadopsi segala macam pandangan dan berusaha –karena kuatir disebut memiliki sifat membeo– membentuk suatu format yang baru yang sebenarnya merupakan campuran dari berbagai macam model untuk menciptakan netralitas yang sebenarnya tidak lebih dari upaya untuk mencari aman.

Hal lainnya yang patut dicermati dalam Post-Modernism ini adalah prinsip anti-otoritas. Salah satu dampak ini dalam kehidupan bergereja didalam mainline churches adalah terjadinya pergeseran liturgi-liturgi tradisonal kepada gaya ibadah “mengalir.” Ibadah, musik, liturgi dalam gereja-jereja mainline dianggap kuno, kaku, mati, tidak memiliki roh, dan sebagainya. Kecenderungannya beralih kepada apa yang dianggap “baru” dan menjanjikan kepuasan dan kenikmatan ibadah yang sekaligus juga dianggap akan lebih bisa menarik orang untuk datang berbakti ke gereja. Kalau demikian maka gereja akan bertumbuh! Maka tidaklah mengherankan bila di ruang-ruang rapat majelis gereja atau di meja-meja pertemuan para hamba Tuhan hal ini menjadi agenda tersendiri dalam pembahasan terutama ketika memasuki sesi yang bersifat evaluatif terhadap kehidupan ibadah gerejawi mereka.

Post-Modernism juga telah turut andil dalam menciptakan kemunculan dari berbagai gerakan yang sebenarnya merupakan gerakan escape from reality melalui psikologi. Munculnya gerakan-gerakan seperti Pria Sejati/Real Man/Strong Man/Pria Maxima, Wanita Bijak dan sejenisnya merupakan korelasi wajar dari kondisi ini.[22]

Membentuk Wawasan Pertumbuhan Gereja Yang Sehat Sesuai Alkitab

Pertumbuhan Gereja sebenarnya merupakan istilah modern yang tidak dapat dilepaskan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Alkitab khususnya Perjanjian Baru bagi perkembangan gereja mula-mula dalam lingkup gereja kerasulan (the Apostolic Church).[23] Kitab Kisah Para Rasul mencatat pertumbuhan keluar (ekstensif) dengan bertambahnya jumlah anggota, luas jangkauan pelayanan, membesarnya organisasi gereja, dan sebagainya. Berbarengan dengan pertumbuhan ekstensif tersebut, muncul pertumbuhan intesif yakni pertumbuhan kedalam yang bersifat konsolidatif dalam bentuk penataan, pemantapan, pembinaan, administratif, dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa kedua bentuk pertumbuhan ini merupakan rekaman historis biblika mengenai sejarah awal Pertumbuhan Gereja.

1. Pertumbuhan Ekstensif

Pertumbuhan ekstensif didasari oleh Amanat Agung Kristus didalam Matius 28:18-20 dan Markus 16:15-16. Para rasul, diutus untuk pergi melaksanakan perintah ini. Patut diingat bahwa pertumbuhan ekstensif ini terjadi atas dasar kuat kuasa Roh Kudus yang diberikan kepada para murid untuk bersaksi (Kisah Para Rasul 1:8) atau dengan kata lain, Roh Kudus sendirilah yang memungkinkan para murid bersaksi. Melalui kesaksian merekalah, maka murid-murid baru bertambah di dalam himpunan para murid yang telah ada itu. Penting untuk diingat bahwa pertumbuhan ini mengikuti kerangka konsentris yang  dimulai dari pusat yakni Yerusalem lalu ke wilayah propinsi terdekat yakni Yudea, kemudian ke wilayah propinsi lain yakni Samaria (yang merupakan bangsa campuran), dan akhirnya keseluruh penjuru dunia.  Lukas melalui kitab Kisah Para Rasul menuturkan pertumbuhan ekstensif ini  dari segi pembentukan gereja-gereja. Mulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria, Siria (Damaskus) lalu ke Antiokhia yang menjadi tempat pertama sekali penyebutan ‘kristen’ digunakan bagi orang-orang percaya (lihat Kisah Para Rasul 11:26). Dari situ kemudian menyeberang ke pulau Siprus lalu ke Asia Kecil dan akhirnya Eropa.

Pertumbuhan ekstensif ini telah mengakibatkan pelipatgandaan jumlah para murid. Jumlah pertambahan ini ada yang kecil dan besar sesuai dengan perjumpaan yang terjadi tatkala kesaksian Injil diberitakan kepada mereka. Dalam Kisah Para Rasul 1:15 dikatakan ada 120 orang yang mula-mula menjadi anggota jemaat di Yerusalem. Dan pada hari Pentakosta jumlah mereka bertambah kira-kira 3000 orang (Kisah Para Rasul 2:41). Di Antiokhia, Alkitab mencatat bahwa melalui penyertaan Tuhan sejumlah besar orang menjadi percaya dan berbalik kepada Tuhan (Kisah Para Rasul 11:21). Pertambahan juga terus terjadi baik secara orang per orang (misalnya sida-sida dari Etiopia dalam Kisah Para Rasul 8:38) maupun dalam bentuk kelompok kecil (perwira Kornelius dan keluarganya dalam Kisah Para Rasul 10:48).

Ada 2 hal penting yang perlu dicatat dan diingat dalam pertumbuhan ekstensif ini: pertama, pertumbuhan gereja terjadi oleh karena Pemberitaan Injil dari para rasul dan para murid lainnya. Mula-mula para Rasul (kaum rohaniwan) menjadi pelopor  dalam memberitakan kesaksian Injil. Kemudian para murid lainnya (orang-orang percaya / jemaat) ikut terlibat melaksanakan tugas ini. Jadi kedua unsur ini (para rasul dan para murid / jemaat) merupakan dua gerak mitra sinergis yang berjalan bersama, saling mengisi dan saling mendukung. Ini menunjukkan bahwa Pertumbuhan Gereja adalah tanggungjawab bersama umat Allah. Kedua, Pertumbuhan Gereja menyangkut proses lintas bangsa dan budaya. Mula-mula Injil hanya diberitakan secara eksklusif kepada kalangan bangsa Yahudi, namun kemudian diberitakan juga kepada bangsa-bangsa lain. Mula-mula bangsa Samaria yang merupakan bangsa campuran Yahudi dengan bangsa-bangsa lain,[24] kemudian orang-orang Yunani. Lebih spesifik lagi, guna menjangkau bangsa-bangsa lain Paulus dan Barnabas diutus (Kisah Para Rasul 9:15; 11). Dengan kata lain Pertumbuhan Gereja memiliki dimensi penting didalam menciptakan keutuhan Tubuh Kristus secara inklusif dan bukan eksklusif.

2. Pertumbuhan Intensif

Pertumbuhan Intensif (pertumbuhan kedalam) dalam sejarah Pertumbuhan Gereja khususnya dalam Perjanjian Baru terlihat dalam beberapa bentuk. Misalnya: pengaturan organisasi dan administrati gereja dengan diangkatnya para pejabat gereja untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu (lihat Kisah Para Rasul 7:1-7). Kemudian timbulnya upaya pemantapan dibidang pengajaran/doktrin. Misalnya: bagaimana memahami Hukum Taurat dan ketentuan-ketentuan adat istiadat Yahudi dalam persekutuan Kristen antar bangsa (yang menjadi pokok penting dalam Sidang Yerusalem di Kisah Para Rasul 15:1-21). Selain itu dilakukan upaya pengaturan pembagian kerja dalam skala kecil hingga skala besar, program konsolidasi secara umum dan pembinaan serta kaderisasi kepemimpinan gerejawi, dan sebagainya. Beberapa dari upaya pengaturan yang sangat penting terlihat dengan sangat jelas dalam hal-hal berikut ini:

a.      Kepemimpinan yang memperlengkapi segenap anggota jemaat agar mampu melayani demi pembangunan tubuh Kristus untuk menuju kedewasaan penuh dan mencapai tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (Efesus 4:12-13).

b.      Kepemimpinan yang membawa jemaat yang utuh kepada kepemimpinan Kepala Gereja yakni Kristus untuk menerima pertumbuhan dan membangun diri didalam kasih (Efesus 4:15-16).

c.       Kepemimpinan yang setia terhadap pengajaran yang sehat (cf.1 Timotius 4:6; 2 Timotius 4:3)

Menyadari “Bahaya” Dalam Gerakan Pertumbuhan Gereja Modern

Dari perpektif sejarah gereja, Pertumbuhan Gereja memiliki dua dampak yang tetap harus menjadi pertimbangan yang tidak boleh diabaikan dalam euforia Pertumbuhan Gereja modern pada hari ini. Pertama, bahwa Pertumbuhan Gereja bisa memiliki dampak yang “negatif.” Sejarah gereja telah membuktikan bahwa Pertumbuhan Gereja juga terjadi diluar dari metode yang manusia bisa pikirkan, yakni gerakan pertobatan massal yang tiba-tiba. Mula-mula gereja mengalami penganiayaan mulai dari abad 1 Masehi hingga awal abad 4 Masehi. Tetapi ditengah penganiayaan ini gereja justru bertumbuh kuat. Namun ketika kemudian Kaisar Konstantinus Agung mengeluarkan Edict Milan[25] pada tahun 313 Masehi, maka orang Kristen bebas dari penganiayaan yang hebat itu. Terlebih setelah kaisar ini memberi dukungan bagi gereja dan memaklumkan kekristenan sebagai agama resmi kekaisarannya; maka, laju Pertumbuhan Gereja menjadi sangat pesat. Sesuatu yang bila ditinjau dari segi kuantitas jauh melampaui Pertumbuhan Gereja pada zaman Perjanjian Baru. Terjadi “pertobatan” massal yang luarbiasa namun juga kemerosotan mutu kehidupan rohani yang luarbiasa sebagai akibat banyak orang yang memberikan dirinya dibaptis atas dasar berbagai-bagai alasan dan bukan karena sungguh-sungguh percaya dan bertobat.[26]

Hal yang sama juga dapat kita lihat pasca Reformasi gereja pada abad 16 dan seterusnya.  Dimana suatu organisasi gereja bisa timbul atau tenggelam mengikuti keputusan penguasa diwilayah tertentu sebagai imbas dari pergeseran-pergeseran social dan politik. Konsep bahwa penguasa wilayah menentukan agama yang berlaku diwilayahnya (Cuius regio, aeius religio) telah menempatkan pemahaman Pertumbuhan Gereja pada sisi yang sangat negatif.  Barangkali kondisi yang sama tidak kita alami pada hari ini kecuali kenyataan menyaksikan bahwa ada banyak orang yang menyebut dirinya Kristen tetapi sangat menurun minatnya terhadap kehidupan gereja dan cenderung tidak mau tahu dengan gereja.[27]

Kedua, Pertumbuhan Gereja memiliki dampak  “positif.” Pelayanan misi dan pekabaran Injil melalui zending/lembaga misi telah membawa dampak yang luarbiasa bagi Pertumbuhan Gereja. Di beberapa tempat gereja bertumbuh subur meskipun dibeberapa tempat lainnya tidak terlalu bertumbuh subur. Namun bagaimanapun dampak positif melalui kehadiran gereja-gereja baru telah memberi sumbangsih yang nyata bagi perkembangan kekristenan ditengah dunia. Barangkali tidak terlalu berlebihan jika Peter Wagner –terlepas dari hal-hal bersifat fundamental yang perlu dikritisi darinya berkaitan dengan konsepnya mengenai Pertumbuhan Gereja setelah ia beralih kedalam gerakan “rasuli dan kharismatik”- mengatakan bahwa tujuan Pertumbuhan Gereja adalah untuk “lebih mengefektifkan penyebaran Injil dan melipatgandakan gereja-gereja di daerah baru.”[28] Dari Barat Injil dibawa menuju Asia, Afrika dan belahan dunia lainnya sehingga menimbulkan tumbuhnya gereja-gereja baik yang menunjukkan pertumbuhan positif yang mutlak maupun relatif. Bahkan di Indonesia, kita bisa melihat pada hari ini bagaimana gereja-gereja terus mengalami pertumbuhan secara luarbiasa, karena berbagai sebab yang kadangkala tidak terduga.

Munculnya perspektif baru didalam upaya penginjilan/misi pada tahun 1955, telah makin memperluas wawasan Pertumbuhan Gereja. Di tahun itu, Donald McGavran (1897-1990) yang dijuluki sebagai Bapa Gerakan Pertumbuhan Gereja Modern menulis sebuah buku berjudul The Bridges of God, yang merupakan uraian mengenai 2 pertanyaan mendasar yang sangat penting yang akan menjadi dasar bagi berbagai model pertumbuhan gereja dikemudian hari: 1) Mengapa gereja bertumbuh didalam situasi-situasi yang sama, dan tidak dalam situasi-situasi lainnya?  2) Hal-hal apa yang dapat dipelajari dari Alkitab dan pengalaman kontemporer untuk membantu gereja-gereja bertumbuh?[29] Asumsi dasar dari buku tersebut adalah “Allah menghendaki gereja-Nya bertumbuh.”[30] Maka ia menegaskan  bahwa “Misi Kristen adalah membawa orang bertobat dari dosa-dosa mereka, menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat, menjadi bagian (anggota) tubuh-Nya, melakukan perintah-Nya, pergi menyebarkan Kabar Baik dan melipatgandakan gereja.”[31]

Prinsipnya yang terutama[32] bagi Pertumbuhan Gereja dapat disimpulkan kedalam tiga penyataan: pertama, Allah menghendaki agar anak-anak-Nya yang terhilang ditemukan dan dirangkul. Kedua, menemukan fakta tentang Pertumbuhan Gereja melalui riset yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai sebab-sebab dan kendala-kendala Pertumbuhan Gereja, dan yang terakhir adalah mengembangkan rencana-rencana khusus berdasarkan fakta yang ditemukan. Namun dalam perkembangan selanjutnya prinsip-prinsip ini dikaburkan dengan konsep yang disebut dengan Memasarkan Gereja (Marketing the Church) yang pada akhirnya mengakibatkan Pertumbuhan Gereja hanya sebagai metodologi untuk memasarkan gereja[33] dengan tujuan yang sering tidak lebih dari suatu upaya untuk memperbesar gereja dan menghasilkan keuntungan-keuntungan dari perkembangannya.

Patut diingat dan diperhatikan, bahwa ia sendiri sejak awal menyadari bahwa istilah Pertumbuhan Gereja (Church Growth) ini dapat menimbulkan dampak yang bisa memecah belah gereja. Dalam surat yang dikirimkannya kepada isterinya, Mary McGavran tanggal 8 September 1961, ia mengatakan bahwa “menekankan pertumbuhan gereja berarti memecah belah gereja.”[34] Apa yang ia katakan ini kemudian benar-benar terbukti. Pemahaman yang kompleks dan perbedaan-perbedaan yang tajam dari berbagai model Pertumbuhan Gereja telah turut ‘meramaikan’ pergumulan pastoral gereja pada hari ini.[35] Penerusnya, C. Peter Wagner ternyata melangkah lebih “maju” dari pendahulunya. Ia sangat tertarik dalam meneliti paradigma-paradigma Pertumbuhan Gereja tanpa berpatokan pada aturan-aturan Alkitab. Terlebih setelah ia beralih kedalam gerakan “rasuli dan kharismatik,” dimana ia menyebut dirinya sebagai “Apostle (rasul) C. Peter Wagner” dan bersama dengan John Wimber (Toronto Vineyard Church)[36] mempromosikan “signs and wonders” dalam gerakan Kharismatik. Konsep-konsep Pertumbuhan Gereja yang ditawarkannya telah membuka pintu bagi masuknya prinsip-prinsip humanism, bisnis,  dan pelbagai ketimpangan pengajaran yang keluar dari jalur Alkitab demi tujuan pelipat-gandaan gereja yang dimaksudkannya. Hal ini mengakibatkan 2 hal: 1) Alkitab digunakan tidak lebih sebagai tempat penampung dimana bagian-bagiannya dipilih keluar dari konteksnya untuk mendukung pemikiran mengenai strategi Pertumbuhan Gereja. 2) meningkatnya konsentrasi terhadap keinginan untuk meraih jumlah melebihi tugas pemuridan. Hal ini didorong oleh pemahaman (yang tentunya tidak tepat) bahwa gereja yang besar adalah gereja yang bagus, diberkati dan diperkenan Tuhan.

Sepertinya, setiap pemimpin gereja terutama para gembala gereja patut merenungkan apa yang McGavran sendiri katakan pada akhirnya, setahun sebelum kematiannya pada 1990 bahwa ‘ia telah melakukan kesalahan.‘[37] Perasaan bersalah yang tentunya lebih disebabkan oleh karena dampak negatif dari kesalahan pengaplikasian lapangan terhadap gagasan-gagasannya mengenai Pertumbuhan Gereja yang pada akhirnya telah memunculkan berbagai model Pertumbuhan Gereja yang salah kaprah. Perhatikan laporan Asosiasi Amerika untuk Pertumbuhan Gereja yang disampaikan ketuanya, John Vaughn, yang mengidentifikasi kecenderungan gerakan Pertumbuhan Gereja  pada hari ini.  Diantaranya adalah:[38]

1.      telah meninggalkan prinsip-prinsip dasar dari Donald McGavran.

2.      penerapan pragmatis berlebihan dengan mengabaikan Kitab Suci menghasilkan suatu pelayanan yang menghalalkan segala cara untuk tujuan menumbuhkan gereja.

3.      menetapkan pelayanan dari sisi ‘kebutuhan yang dirasakan’ (felt needs) orang.

4.      secara sistematis menggantikan khotbah dan ajaran Alkitab dengan hal-hal klasifikasi hadirin (audience ratings), pertumbuhan statistik, keuntungan-keuntungan financial dan lainnya.

5.      terfokus pada hal “mengkandangkan” orang yang sudah bertobat kepada kekristenan dan bukannya menjangkau orang yang belum bertobat.

6.      ketidakmampuan untuk membedakan antara pertumbuhan gereja-gereja ortodoks dalam segi jumlah dengan gereja-gereja yang mengajarkan ajaran sesat (palsu).

7.      mengukur keberhasilan dari besar kecilnya gereja.

2 “Perangkap” Yang Harus Diwaspadai Para Gembala dan Para Pemimpin Gereja

Harus diakui bahwa gerakan Pertumbuhan Gereja telah memberikan banyak sumbangsih bagi kekristenan selama bertahun-tahun dengan berlipatgandanya gereja dan memperbesar kemungkinan-kemungkinan positif yang didapatkan oleh gereja melaluinya, terutama dalam kaitan yang bersifat kuantitatif. Hal ini telah membuka wawasan dan menantang berbagai cara pandang dan pendekatan-pendekatan pertumbuhan gereja dari banyak pemimpin gereja, terutama mereka yang menjadi gembala sidang didalam gerejanya masing-masing. Ada kerinduan besar untuk menyaksikan gereja yang semakin lebih baik, lebih terarah, berdaya guna dan makin efektif terutama didalam pelaksanaan penginjilan dan misi yang dilakukan didalam gereja-gereja lokal. Tentunya ini merupakan hal yang baik dan patut untuk terus diupayakan sebagai bentuk respon yang bertanggungjawab terhadap panggilan-Nya. Namun bagaimanapun, sikap kritis dari para pemimpin gereja – dalam hal ini para gembala sidang gereja – diperlukan untuk mewaspadai akibat negatif yang fatal dalam pemikiran-pemikiran pertumbuhan gereja yang justru pada akhirnya menjadi boomerang bagi diri sendiri dan juga bagi gereja yang digembalakan. Berikut 2 “perangkap” yang harus diwaspadai:

1. Daya Tarik Jumlah

Gerakan Pertumbuhan Gereja selalu menawarkan apa yang disebut dengan ‘pelipatgandaan jumlah’ orang kedalam gereja. Donald McGavran yang disebut sebagai Bapak Gerakan Pertumbuhan Gereja Modern, didalam bukunya “Understanding Church Growth” menekankan apa yang ia sebut sebagai “pertumbuhan jumlah” sebagai satu-satunya kriteria yang sah bagi Pertumbuhan Gereja.[39] Maka tidaklah mengherankan bila ia sangat meyakini bahwa inti pemikiran Pertumbuhan Gereja adalah meneliti faktor-faktor yang dapat menolong atau menghambat pertambahan jumlah. Jadi, pada dasarnya konsep dasar Pertumbuhan Gereja adalah perkara jumlah atau kuantitas.  Untuk mendukung hal ini maka selain Kitab Kisah Para Rasul, kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Baru sering menjadi rujukan bagi gerakan Pertumbuhan Gereja untuk menegaskan mengenai pertumbuhan secara kuantitas.[40] Perangkap ‘jumlah’ ini dapat mengaburkan kemurnian dasar dari efektifitas Injil yang seharusnya dipegang dalam pelayanan misi dan penginjilan. Metode dan berbagai model yang ditawarkan melalui gerakan Pertumbuhan Gereja pada akhirnya menjadi tidak lebih dari suatu upaya manusia untuk menambah sebanyak mungkin jumlah orang kedalam gereja dan bukan pada tujuan vitalnya yakni seseorang secara murni dengan kuasa anugerah Tuhan melalui pekerjaan Roh Kudus yang melahirbarukan seseorang kedalam gereja. Bahkan terkadang para pemimpin karena berorientasi pada jumlah pada akhirnya lebih memilih untuk mengorbankan hal-hal yang sebenarnya harus mereka pertahankan demi meraih sebanyak mungkin orang kedalam gereja. Dalam hal yang berkaitan dengan ibadah misalnya, Rick Warren berkata, “Saya mengaku bahwa kami kehilangan ratusan anggota potensial karena gaya musik yang kami gunakan di Saddleback, sebaliknya kami menarik ribuan orang lagi karena musik tersebut “[41]

Bila ‘jumlah’ menjadi ukuran bagi sebuah keberhasilan dan kebanggaan dalam pelayanan dan mengabaikan unsur kualitatif yang justru seharusnya menjadi prioritas utama; maka, sesungguhnya pelayanan telah mengalami kegagalan. Segala usaha untuk mencapainya meskipun kelihatan berhasil namun sebenarnya tidaklah lebih dari sebuah usaha mendirikan bangunan yang besar dan megah tanpa fondasi yang kuat. Erich Fromm memberi peringatan yang penting untuk kita ingat: “Our age has found a substitute for God – the impersonal calculation. This new god has turned into an idol to whom all may be sacrificed. A new concept of the sacred and unquestionable is arising: that of calculability, probability, factuality.”[42] Lagi pula kita harus ingat bahwa pertambahan ‘jumlah’ bukanlah segala-galanya bagi sebuah Pertumbuhan Gereja yang sesungguhnya. Prinsip Alkitab jelas dalam hal ini, bahwa pertambahan jumlah merupakan akibat yang bersifat umum yang ditunjukkan oleh karena adanya kualitas dan bukan sebaliknya.  Peristiwa seperti dalam Kisah Rara Rasul yang menunjukkan adanya pertambahan jumlah harus dipahami sebagai sebuah peristiwa untuk merayakan  kualitas hidup kekristenan mula-mula dan bukan sebagai sebuah alasan untuk menjadikannya sebagai bahan olokan untuk menilai kekeristenan hari ini.[43]

Agaknya kesimpulan dari George W. Peters ketika ia memberi analisa mengenai pertambahan dari individu-individu kedalam ‘gereja’ yang dihasilkan melalui gerakan-gerakan bersifat massal  dalam sejarah perlu dicermati dan dijadikan sebagai peringatan. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya kondisi-kondisi yang demikian pada akhirnya tidaklah lebih dari sebuah ‘kerajaan kristen yang diciptakan dan bukan kekristenan yang sejati.’[44]

2. Daya Tarik Kesuksesan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kesuksesan sebuah penggembalaan lebih sering diukur karena jumlah yang besar dari keanggotaan gereja, makin besarnya gereja beserta hal-hal yang bersifat material yang menyertainya, dan bertambahnya pelayanan-pelayanan gereja. Akan tetapi kita harus ingat bahwa Perjanjian Baru juga telah memberikan kepada kita gambaran mengenai gereja yang sukses di dalam kitab Yakobus, kitab-kitab Petrus, dan kitab Wahyu. Gereja-gereja tersebut kelihatannya jauh dari kesuksesan sebagaimana dipahami oleh orang kebanyakan. Justru gereja mengalami penderitaan. Namun gereja tetap setia bukan karena penginjilan yang berhasil, melainkan karena tetap memelihara diri dan penuh pengharapan ditengah perjuangan hidup dan mati ditengah dunia yang gelap ini.

Barangkali masalah yang besar berkaitan dengan istilah “sukses” dalam pelayanan pada hari ini sesungguhnya bukanlah dalam pengertian biblika atau teologia tetapi sebenarnya dalam pengertian yang bersifat psikologis[45] dimana kepuasaan pada rasio dan perasaan akan pencapaian tertentu bagi Pertumbuhan Gereja memberi pengaruh pada kepercayaan diri. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa untuk mengejar kesuksesan tersebut gereja berlomba-lomba untuk menciptakan atmosfir dengan memberi kesan tidak hanya sekedar menjadi tempat untuk beribadah melainkan juga menjadi tempat yang menyediakan seluruh kebutuhan jasmani setiap orang. Tentu saja ini kurang tepat.[46] Ini mungkin bisa efektif dalam memasarkan sebuah produk didalam dunia bisnis, namun menjadi pola yang merusak apabila diterapkan didalam gereja. Ada perbedaan prinsip yang sangat besar antara strategi pasar dengan strategi Allah bagi Pertumbuhan Gereja. Strategi pasar berjalan dibawah prinsip “pelanggan adalah raja”[47] namun dalam strategi Allah prinsipnya adalah “Tuhan dan firman-Nya  pusat.” Kita patut merenungkan apa yang dikatakan oleh Elmer Towns bahwa, “Firman Tuhan adalah ukuran mutlak untuk iman dan perbuatan, dan prinsip pertumbuhan gereja apapun yang bertentangan dengan Kitab Suci, walaupun ia menghasilkan pertumbuhan dalam jumlah, bukanlah prinsip pertumbuhan gereja yang Alkitabiah.”[48]

Perlu diingat bahwa mentalitas bisnis dalam pelayanan tidak akan menghasilkan dan menambah Pertumbuhan Gereja yang sehat apalagi menghasilkan integritas rohani baik bagi para pemimpin rohani maupun bagi umat percaya. Sekali mentalitas ini diadopsi dan dikedepankan, maka gereja akan lebih tertarik pada kesuksesan artificial dan keuntungan-keuntungan yang didapat melaluinya dan bukannya justru kepada kesuksesan yang hakiki yakni kebenaran dan kekudusan yang merupakan kesuksesan yang terpenting dalam pelayanan. Disinilah para pemimpin gereja terutama para gembala gereja harus mawas diri sehingga ditengah pergumulan-pergumulan penggembalaan dapat tetap memelihara integritas panggilannya seturut ajaran kebenaran. Kesalahan terbesar dalam strategi-strategi Pertumbuhan Gereja pada hari ini adalah penyangkalan (secara sadar ataupun tidak disadari) terhadap kedaulatan Allah dan sufisiensi Alkitab. Begitu banyak pemimpin gereja terutama para gembala yang telah kehilangan kepercayaan diri dan menjadi minder sehingga tidak lagi mempercayai bahwa gereja yang benar dan sehat itu akan bertumbuh melalui pemberitaan dan pengajaran firman Allah yang bertanggungjawab didalamnya.

Oleh sebab itu, kerinduan yang amat besar untuk melihat Amanat Agung berhasil sekali-kali tidak boleh digantikan dengan keberhasilan pemasaran gereja. Firman Tuhan menegaskan  bahwa Tuhanlah yang menambah jemaat gereja[49] dan bukan karena kedigdayaan manusia. Tuhan kita Yesus Kristus juga mengatakan bahwa Ia sendirilah yang akan membangun gereja-Nya.[50] Alkitab menunjukkan bahwa alat yang benar untuk mengembangkan gereja semuanya bersifat supernatural, karena gereja itu pada hakekatnya adalah supernatural. Jadi sebenarnya bukan metodologi yang merupakan hasil riset dan pemikiran manusia yang mengerjakan pertumbuhan gereja-Nya. Bahkan seorang hamba Tuhan seperti rasul Paulus saja –kalau boleh disebut sebagai ahli Pertumbuhan Gereja pada zamannya- dalam 1 Korintus 2:4-5 mengatakan, “Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah.”  Ini berarti bahwa kesuksesan yang sesungguhnya bukanlah terletak pada hal-hal yang dihasilkan didalam setiap upaya yang dilakukan. Kesuksesan tidak terletak kepada kemakmuran, kejayaan, kuasa, popularitas dan hal-hal lain menurut pemahaman dunia mengenai arti kesuksesan. Tetapi kesuksesan yang sesungguhnya didalam pelayanan adalah melakukan kehendak Allah tanpa menghiraukan untung dan rugi yang ada atau sikap mempertanyakan panggilan pelayanan kita sebagai bentuk keragu-raguan oleh pengaruh situasi dan kondisi yang ada.

 

Kesimpulan dan Saran

Fenomena gerakan Pertumbuhan Gereja saat ini memang sangat menarik untuk dicermati. Namun juga memerlukan hikmat yang tepat didalam menyikapinya. Para pemimpin gereja terutama mereka yang memangku tugas penggembalaan gereja mesti waspada terhadap berbagai produk yang muncul dari gerakan Pertumbuhan Gereja pada hari ini. Terlepas dari keberhasilan-keberhasilannya, gerakan Pertumbuhan Gereja yang diterjemahkan kedalam berbagai model dan cara harus tetap mendapat penelitian ulang dari segala sisi, khususnya sisi historis-teologis-hermeneutis-praktis secara bertanggungjawab. Sehingga dengan demikian gereja tetap terpelihara dari berbagai pengaruh yang tidak tepat dan Amanat Agung Tuhan dapat tetap dijalankan dengan murni dan bertanggungjawab.[51]

Para pemimpin gereja, dalam hal ini khsusunya mereka yang memangku tanggungjawab penggembalaan, patut menjaga diri dari mentalitas instan dan pola pikir sekuler dalam upaya untuk mencapai terjadinya pertumbuhan didalam gerejanya.  Sebaliknya, dengan penuh tanggungjawab memelihara integritas diri, teologia dan pelayanan seperti halnya telah dikatakan didalam 1 Timotius 4:16, “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau.”

Dan juga,  2 Timotius 4:1-5 yang bila diuraikan akan memperlihatkan bagaimana seharusnya peran yang baik untuk mendukung sebuah Pertumbuhan Gereja yang sehat:

(1) Senantiasa mengingat akan panggilan Tuhan (ayat 1)

(2) Beritakanlah firman (ayat 2)

(3) Setia dalam segala situasi dan kondisi (ayat 2)

(4) Nyatakan kesalahan, tegur, dan nasihati dengan kesabaran (ayat 2)

(5) Jangan pernah kompromi dalam masa-masa yang sukar (ayat 3-4)

(6) Kuasailah diri dalam segala hal (ayat 5)

(7) Tetap tekun dalam menghadapi penderitaan (ayat 5)

(8) Lakukan tugas sebagai seorang pemberita Injil (ayat 5)

(9) Tunaikan tugas pelayanan (ayat 5)

Fides Quaeraens Intelectum

 

BIBLIOGRAPHY

Allah, TUHAN.  Alkitab.

Daun, Paulus. Apakah Evangelicalisme Itu? Yogyakarta: ANDI OFFSET, 1986.

Fromm, Erich. The Revolution of Hope. New York, 1968.

Finney, Charles. The Memoirs of Charles Finney: The Complete Restored Text. Grand

Rapids: Academie Books, 1989.

Finney, Charles. Finney’s Systematic Theology. Minneapolis: Bethany House Publisher,

1976.

Halawa, Yarman. Mencermati Gerakan Rohani Dalam Pengaruh Neo-Pentacostalism di

Tengah Arus Post-Modernism. Surabaya: Sinode GKA, Buletin Sinode GKA Edisi XX Oktober 2009.

Krecjir, Dr. Richard, Dr. The Problem With Most Church Growth Paradigms

(www.churchleadership.org c 2002.

McIntosh, Gary L. Evaluating The Church Growth Movement. Zondervan, Grand Rapids,

Michigan  2004, terjemahan Indonesia dengan judul yang sama oleh Penerbit Gandum

Mas, Malang 2006.

McGavran, Donald A. The Bridges of God. Revised edition World dominion Press, UK,

1981.

McGavran, Donald. Understanding Church Growth Grand Rapids: Wm B. Eerdmans, 1970.

Norton,  Michael Dr.  http://www.mtio.com/articles/aissar81.htm

Norton, Michael Scott, Mission Accomplished. Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1986.

Peters, George W. A Theology of Church Growth. Grand Rapids: Zondervan Pub. House,

1981.

Reed, David A. Origins and Development of the Theology of “Oneness” Pentecostalism in

the United States.  Ann Arbor, Michigan: University Microfilms International, 1980.

Stott, John R.W., Christian Mission in the Modern World. Illinois: IVP, 1979

Shelley, Bruce L. Church History In Plain Language . updated 2nd edition. Nashville: Thomas

Nelson Publishers, c 1995.

Sargeant, Kimon H. Seeker Churches. New Brunswick: Rutgers University Press, 2000.

Wagner, C. Peter. Your Spiritual Gifts Can Help Your Church Grow – terjemahan Indonesia:

Manfaat Karunia Roh untuk Pertumbuhan Gereja. Malang: Gandum Mas, 1987.

Wagner, C. Peter, Teritorial Spirits – terjemahan Indonesia: Roh-Roh Teritorial Jakarta:

Yayasan Pekabaran Injil “IMANUEL,” 1994.

Wagner, Peter. Gereja Saudara Dapat Bertumbuh.  Malang: Gandum Mas, 1990.

Winter, Ralph D. Crucial Issues in Mission Tomorrow, ed. Donald McGavran. Chicago:

Moody Press, 1972.

Warren, Rick. The Purpose Driven Church. Grand Rapids: Zondervan  Publishing House,

1995.

Warren, Rick. Pertumbuhan Gereja Masa Kini. Malang: Gandum Mas, 2004.

_________, http://en.wikipedia.org/wiki/Fourth_Great_Awakening.


[1]Salah satu contohnya adalah apa yang disebut dengan Purpose Driven Church yang sempat ‘booming’ beberapa tahun lalu dibeberapa tempat termasuk dalam gereja-gereja di Indonesia. Berawal dari kesuksesan pendeta Rick Warren dalam menjalankan metode ini sehingga orang terlanjur melihat Purpose Driven Church sebagai “hasil karya” Rick Warren, meskipun sebenarnya metode ini dapat dikatakan bukan murni hasil pemikirannya.  Pada tahun 1970an  muncul pengajaran dari pelayanan Campus Crusade, Young Life and Sun Life yang kemudian diteliti dan dikembangkan oleh Fuller Institut di Pasadena, California, Amerika Serikat pada akhir 1980an. Metode inilah yang kemudian dipopulerkan oleh Rick Warren yang ternyata berhasil di gereja Saddleback Valley Community Church yang dipimpinnya.

[2] Sangat menyedihkan jika dalam banyak kasus demi untuk tujuan ini, gereja-gereja dalam kelompok mainline churches dengan sukarela ”dibimbing” oleh para gembala gereja Kharismatik yang telah terlebih dahulu merasakan mujarabnya “ilmu” Pertumbuhan Gereja bagi gereja yang mereka gembalakan dan menjadikan mereka sebagai ‘mentor’ yang menuntun agar gereja-gereja dalam kelompok mainline churches ini juga merasakan ‘berkat” yang sama. Tentu saja untuk tujuan ini, hal-hal yang bersifat prinsipil/fundamental harus dikesampingkan!

[3]Charles Finney (1792-1875) yang semula berlatarbelakang ahli hukum (lawyer) kemudian menjadi seorang pendeta Presbyterian yang ditahbiskan dengan menerima Pengakuan Iman Westminster yang kemudian ia tolak. Dalam pengakuannya kemudian sehubungan dengan tindakannya itu, ia mengatakan bahwa ia menerima Pengakuan Iman Westminster karena “tidak mengerti” dan ‘tidak membaca.” Ini membuktikan bahwa ia menerimanya tidak lebih sebagai persyaratan saja. Ia telah menolak kerangka dasar teologia dari pengakuan iman yang berlaku didalam gereja. Dengan demikian, motif sebenarnya ia ‘menerima’ Pengakuan Iman Westminster tidaklah lebih sebagai ‘kendaraan’ atau ‘stempel’ demi pengesahan pelayanannya. Hal yang sama seringkali terjadi dalam gereja-gereja mainline churches pada hari ini yang diatas kertas menerima pengakuan iman yang berlaku didalam gereja mereka, namun dalam praktiknya menolak dan menyangkalinya! Lihat Charles Finney, The Memoirs of Charles Finney: The Complete Restored Text. (Grand  Rapids: Academie Books, 1989),  pp. 53-54.

[4] Finney menolak ajaran mengenai dosa asali, penebusan pengganti, dan karya pembenaran Kristus atas  orang percaya.

[6]Dr. Michael S. Norton adalah  anggota dari  the Alliance of  Confessing Evangelicals dan juga co-host dari program radio White Horse Inn. Lihat  http://www.mtio.com/articles/aissar81.htm.

[7]Charles G. Finney, Finney’s Systematic Theology (Minneapolis: Bethany House Publisher, 1976), pp.4-5

[8] Istilah ini adalah untuk membedakan dengan  gerakan Evangelical yang  muncul pada abad 17.

[9] Lihat Paulus Daun, Apakah Evangelicalisme Itu? (Yogyakarta: ANDI OFFSET, 1986), halaman 57-61. Pdt. Paulus Daun menyebutnya sebagai “Lampu Merah Bagi Kaum Injili.”

[10] Misalnya beberapa dosen dari Fuller Theological Seminary seperti Daniel Fuller, Jack Rogers, termasuk Rektornya David Hubbard mengemukakan teori “kesalahan Alkitab yang terbatas’ (Limited Inerrancy) atau tokoh Injili lainnya seperti Bernard Ramm yang berpandangan bahwa istilah “ketanpa-salahan” Alkitab tidak dapat mewakili hakekat Alkitab karena hanya akan menimbulkan perdebatan.

[11] Menekankan hal-hal yang positif dalam kehidupan Kristen.  Sebagai akibatnya adalah mengabaikan sikap untuk menghadapi hakekat dosa.  Sehingga dengan demikian melemahkan arti “pengudusan” yang sebenarnya.

[12] Penolakan terhadap otoritas gereja, pemikiran teologia dan sistem gereja yang memberi ruang bagi kebangkitan dan pengaruh yang lebih besar dari kelompok-kelompok Kharismatik untuk mempengaruhi mainline churches.

[13] Keterbukaan dengan semua denominasi yang tentu saja merupakan kekuatan yang luarbiasa dalam penginjilan, namun sekaligus juga memiliki efek merusak yang  tidak kecil karena pada akhirnya tidak lagi menghiraukan hal-hal yang sangat prinsip berkaitan dengan pokok-pokok ajaran iman.

[14] Lihat Gary L. McIntosh,  Evaluating The Church Growth Movement (Zondervan, Grand Rapids, Michigan  2004), terjemahan Indonesia dengan judul yang sama oleh Penerbit Gandum Mas, Malang 2006, halaman 105-106.

[15]Warren misalnya dalam argumen-argumen Purpose Driven Church-nya secara sadar ataupun tidak telah mengurangi penekanan yang seharunya mengenai doktrin  Penghakiman, Kekudusan dan Pembenaran sementara ia dengan sangat serius focus pada pemahaman mengenai kebapaan kasih Allah dan menafsirkan Alkitab untuk mendukung Pendekatan Pencari Yang Peka (Seeker Sensitive Approach). Tentunya ini merupakan hermeneutika yang sangat berbahaya dan memiliki akibat buruk  bagi perkembangan kehidupan gereja baik dalam penggembalaan, pemginjilan, ibadah, khotbah persekutuan, pemuridan dan pelayanan. Lihat uraian Kimon H. Sargeant, Seeker Churches (New Brunswick: Rutgers University Press, 2000), p. 93.

[16] David A Reed, Origins and Development of the Theology of “Oneness” Pentecostalism in the United States.  Ann Arbor, Michigan: University Microfilms International, 1980, p. 108. Ajaran baru menjadi salah satu daya tarik untuk memuaskan keingintahuan manusia yang sebenarnya lebih banyak akibat merusaknya dari pada akibat baiknya. Gereja2 / persekutuan2 dalam pengaruh Jesus Only ini mempopulerkan adanya wahyu-wahyu baru yang mereka anggap diterima dari Tuhan dan orang Kristen harus menerimanya

[17] Perhimpunan gereja-gereja Pentakosta.

[18] Lihat juga Pdt. Yarman Halawa, Mencermati Gerakan Rohani Dalam Pengaruh Neo-Pentacostalism di Tengah Arus Post-Modernism (Surabaya: Sinode GKA, Buletin Sinode GKA Edisi XX Oktober 2009), halaman 8.

[19] Yang kemudian menghasilkan gerakan yang disebut sebagai Toronto Blessing yang dianggap sebagai lawatan Allah bagi gereja-Nya dan yang kemudian terbukti sama sekali tidak benar.

[20] Untuk memahami secara menyeluruh unsur-unsur Kharismatik dalam gerakan Pertumbuhan Gereja silahkan membaca buku C. Peter Wagner, Your Spiritual Gifts Can Help Your Church Grow – terjemahan Indonesia: Manfaat Karunia Roh untuk Pertumbuhan Gereja (Malang: Gandum Mas, 1987) dan Teritorial Spirits – terjemahan Indonesia: Roh-Roh Teritorial (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil “IMANUEL” 1994).

[21]Itu sebabnya apapun kadang dilakukan walaupun itu diluar dari kebiasaan yang seharusnya bagi sebuah ibadah rohani. Hal ini bisa dilihat dengan kebiasaan mengkombinasikan hal-hal yang bersifat entertainment didalam ibadah. Misalnya: artis / selebritis, sulap, dan sebagainya dijadikan sebagai daya tarik untuk menjangkau orang untuk datang.

[22] Lihat Pdt. Yarman Halawa, Mencermati Gerakan Rohani Dalam Pengaruh Neo-Pentacostalism di Tengah Arus Post-Modernism. Halaman 9-10, 35. Pokok-pokok ini memerlukan uraian dan penjelasan tersendiri.

[23] Itu sebabnya banyak model Pertumbuhan Gereja pada hari ini selalu mengidentifikasikan dirinya dengan peristiwa-peristiwa besar Pertumbuhan Gereja pasca Pentakosta didalam Perjanjian Baru, misalnya pertambahan massal para petobat baru kedalam komunitas orang percaya didalam kitab Kisah Para Rasul.

[24] Sesuai perintah Tuhan Yesus didalam Kisah Para Rasul 1:8.

[25]Edict Milan (Edictum Mediolanense) adalah maklumat yang ditandatangani  oleh kaisar Konstantinus yang menjamin kebebasan agama di seluruh wilayah kekaisaran Romawi.

[26]Lihat Bruce L. Shelley, Church History In Plain Language . updated 2nd edition. (Nashville: Thomas Nelson Publishers, c 1995), p. 94, 96.

[27]Pola hidup “Kristen Nominal” yang mungkin diakibatkan oleh agaknya  sekularisme, rasionalisme, materialism, dan berbagai factor lainnya.

[28] Peter Wagner, Gereja Saudara Dapat Bertumbuh.  (Malang: Gandum Mas, 1990), halaman 13.

[29] Donald A. McGavran, The Bridges of God. Revised edition (World dominion Press, UK, 1981), p. 323.

[30] Lihat juga Donald McGavran, Understanding Church Growth (Grand Rapids: Wm B. Eerdmans, 1970), p. 23.

[31]Ibid. Halaman 18. Kecuali tentunya prinsipnya mengenai Kelompok Homogen (Homogeneous Unit Principle)” yang dikecam banyak pihak karena dianggap menjadi stempel bagi eksklusivisme budaya dalam gereja, kebijakan keanggotaan rasial dan bukannya strategi penjangkauan dalam penginjilan, ketika prinsip ini diterapkan dalam penginjilan lintas budaya (lihat halaman 71).

[32] McIntosh,  Evaluating The Church Growth Movement. Halaman 19.

[33] Hal ini muncul melalui buku George Barna Marketing the Church (Lihat McIntosh, Evaluating The Church Growth Movement. Halaman 26.  Maka tidak mengherankan juga bila pada akhirnya kita mendapati bahwa di seminari-seminari tertentu muncul mata kuliah Church Marketing yang merupakan pengaruh dari konsep ini.

[34] Ibid. Halaman 6.

[35] Silakan membaca buku Evaluating The Church Growth Movement. Buku ini menguraikan mengenai 5 macam pandangan evaluatif  terhadap Gerakan Pertumbuhan Gereja: 1. Pandangan Penginjilan Efektif  oleh Elmer Towns, 2. Injil dan Budaya Kita oleh Craig Van Gelder, 3. Pandangan Sentris oleh Charles Van Engen, 4). Pandangan Pihak Reformis oleh Gailyn Van Rheenen, dan 5) Pandangan Pembaharuan oleh Howard Snyder. Yang bila diringkaskan akan mengerucut kepada pandangan Pertumbuhan Gereja dari Kaum Injili dan pandangan Pertumbuhan Gereja dari Kaum Ekumenikal.

[36] Yang kemudian menghasilkan gerakan yang disebut sebagai Toronto Blessing yang dianggap sebagai lawatan Allah bagi gereja-Nya dan yang kemudian terbukti sama sekali tidak benar.

[37]Lihat Dr. Richard J. Krecjir, The Problem With Most Church Growth Paradigms (www.churchleadership.org c 2002).

[38] Lihat McIntosh, Evaluating The Church Growth Movement. Halaman 72-74.

[39] McGavran, Understanding Church Growth. P. 32. McGavran berkata bahwa “a principle and irreplaceable purpose of mission is the (numerical) growth of the church.”

[40]Misalnya: Matius 5:16; 9:37-38; 10:1-40; 13:1-8, 18-23, 31, 47; Markus 1:17; 4:1-8, 13-20; Lukas 8:5-8, 11-15; 10:2; Yohanes 8:12; 9:5; 14:21-24; 15:5, 8; Roma 8:15; 1 Korintus 3:9-11; Efesus 1:5; 2:22; 4:14; 1 Petrus  2:2, 4.

[41] Rick Warren, Pertumbuhan Gereja Masa Kini. (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1999), p. 291.

[42]Erich Fromm, The Revolution of Hope (New York: 1968), p. 54.  Erich Pinchas Fromm (23 Maret 190018 Maret 1980) adalah seorang ahli psikologi, psikoanalis, dan ahli filosofi manusia berkebangsaan Jerman.

[43] Lihat Ralph D. Winter in Crucial Issues in Mission Tomorrow, ed. Donald McGavran (Chicago: Moody Press, 1972),  pp. 178-187.

[44]George W. Peters, A Theology of Church Growth (Grand Rapids: Zondervan Pub. House, 1981), p. 23.

[45]Salah satu dari banyak contoh yang bisa disajikan: Perhatikan bagaimana Rick Warren, promotor utama yang “berhasil” melalui model Pertumbuhan Gereja The Purpose Driven Church ketika menginterpretasikan perkataan Yesus “Apa yang engkau ingin Aku lakukan bagimu?” sebagai bentuk  pendekatan Yesus kepada orang banyak  untuk mendapatkan pemahaman mengenai apa yang mereka butuhkan. Warren percaya bahwa Yesus telah menemukan “kunci” kesuksesan untuk membawa mereka kepada keselamatan. Konklusi logis dan psikologisnya adalah (menurut Warren), “setiap orang dapat dimenangkan bagi Kristus jika anda mengetahui apa kunci untuk membuka hatinya.” Lihat Rick Warren, The Purpose Driven Church (Grand Rapids: Zondervan  Publishing House, 1995), p. 220 atau terjemahan Indonesia: Pertumbuhan Gereja Masa Kini (Malang: Gandum Mas, 2004), halaman 226.

[46] Lihat John R.W. Stott, Christian Mission in the Modern World (Illinois: IVP, 1979), p. 18-19.  Stott mengaskan bahwa seharusnya misi Kristen tidak bertujuan untuk kompromi dan menjadi alat untuk kepenting manusia.

[47] Sehingga pada akhirnya segala sesuatu bergantung  pada selera manusia: khotbah-khotbah dan pengajaran harus disesuaikan dengan level kenyamanan pendengar,  para gembala atau hamba-hamba Tuhan harus menghindari “khotbah yang menegur dosa” dan seterusnya (bandingkan hal ini dengan apa yang dikatakan oleh rasul Paulus dalam 2 Timotius 4:3-4!)

[48] Gary L. McIntosh, Evaluating The Church Growth Movement. p.64

[49] Kisah Para Rasul 2:47.

[50] Matius 16:18.

[51]Lihat juga Michael Scott Norton, Mission Accomplished. (Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1986), p. 102.  Norton menegaskan bahwa dalam setiap upaya pekabaran Injil untuk menjangkau orang bagi Tuhan harus selalu diingat bahwa Dialah yang Empunya tuaian dan bukan kita. Ia berdaulat dalam setiap rencana, tujuan dan hasil dari pekabaran Injil yang kita lakukan sehingga setiap upaya pekabaran Injil  harus ditempatkan dalam pengertian yang benar sebagai “kuasa Allah yang menyelamatkan.”

 

MENGENAL DIRI DAN MENERIMA DIRI (Roma 12:3) Oleh Pdt. Yarman Halawa, D.Min May 25, 2010

Bila kita perhatikan struktur Roma 12; maka, kita dapat menemukan 3 bagian yang merupakan pokok pembicaraan rasul Paulus:

1. hubungan orang kristen dengan Tuhan (1-2)

2. hubungan orang kristen dengan/didalam gereja (3-13)

3. hubungan orang kristen dengan orang/dunia luar (14-21)

Ayat 3 Paulus menegaskan bahwa hubungan orang kristen dengan/didalam gereja harus didasarkan kepada pemahaman mengenai nilai diri/citra diri yang benar: Pertama, orang kristen harus menilai dirinya sendiri berdasarkan terang pembaharuan pikiran rohaniah sehingga terhindar dari sikap yang salah mengevaluasi atau menilai diri sendiri dan orang lain berdasarkan hal2 yang bersifat lahiriah. Kedua, orang kristen didalam gereja memiliki karunia2 rohani yang berbeda2 (cf. 4-13) dan tidak ada seorangpun yang memiliki semua karunia sekaligus dan karena itu setiap orang didalamnya harus menilai dan mengevaluasi dirinya berdasarkan kontribusinya bagi gereja melalui karunia yang ia miliki dan bukan justru mengevaluasi atau menilai dirinya berdasarkan kontribusi dari karunia/talenta orang lain.

Dan untuk dapat memiliki nilai diri yang benar maka terlebih dahulu harus ada pembaharuan dalam berpikir. Pada ayat sebelumnya (ayat 2): terj. LAIBerubahlah oleh pembaharuan budi’ – teks asli yang diterjemahkan KJV/NKJV: ‘renewal of your mind’ artinya berubahlah dalam pembaharuan pikiran. Apa artinya pembaharuan pikiran? Pembaharuan pikiran berarti perubahan dalam pola2/konsep2 berpikir yang lama, dari cara berpikir manusia lama, dari pola pikir kuno yang bersifat duniawi  yang justru menghalangi pembaharuan pikiran yang sesuai dengan iman dan ajaran kitab Suci. Dalam bentuk kalimat teks aslinya, pembaharuan pikiran ini merupakan sebuah proses yang terus-menerus yang harus kita lakukan untuk membersihkan cara berpikir kita dari pengaruh cara2 berpikir duniawi sehingga kehidupan percaya kita tidak salah arah dan makin hari makin murni seturut kehendak Allah.

Pembaharuan pikiran akan menghasilkan 2 akibat positif yang membangun:

1.Mengenal Diri Dengan Benar (3a)

Paulus katakan, “Janganlah kamu memikirkan hal2 yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa…” Orang percaya yang benar2 telah mengalami pembaharuan pikiran yang benar mengenai dirinya akan mampu mengenal diri dengan benar. Pertama-tama, ia sadar sesadar2nya bahwa ia adalah orang berdosa (Roma 3:23). Ia sadar bahwa citra diri/nilai diri sebagai imago Dei sudah rusak akibat dosa. Ia sadar bahwa ia berada dalam posisi  Total Inability dan tidak mungkin dapat memenuhi tuntutan Tuhan untuk hidup seperti yang Tuhan kehendaki.  Ia sadar bahwa dirinya dihadapan Tuhan tidaklah lebih baik dari orang lain. Selanjutnya,  seorang yang mengenal dirinya sendiri akan sungguh menyadari bahwa ia adalah penerima anugerah (Efesus 2:10 – ‘buatan Allah yang diciptakan dalam Kristus Yesus…’). Bila hidupnya sekarang bisa punya  nilai, punya makna, punya harga itu adalah oleh karena Kristus telah menebus dirinya dari kebinasaan kepada kehidupan dan pengharapan kekal kepada Allah, oleh karena Kristus telah memulihkan citra diri ilahi/ imago Dei yang telah rusak itu kembali didalam dirinya.

Kesadaran bahwa kita adalah orang berdosa dan penerima anugerah akan selalu memampukan kita  untuk tidak sembarangan/sembrono dalam menilai diri kita sendiri dan orang lain karena kita telah mengenal diri kita sendiri dengan baik. Inilah yang dimaksudkan Paulus ketika berkata, ‘hendaklah kamu berpikir begitu rupa.’  Q: Sudahkah kita benar2 telah mengenal diri kita sendiri dengan baik dan benar?

Dalam ayat ini kita dapat menemukan salah satu hal yang dapat membuat kita salah menilai diri kita, yakni menganggap diri kita lebih tinggi dari orang lain berdasarkan hal2 yang bersifat lahiriahContoh2:  faktor latarbelakang/lahiriah  cf. warna kulit, sikap terhadap latarbelakang etnis Barack Obama, usia (saya lebih tua, banyak makan asam garam, situ masih hijau…), status sosial (sini kaya pergaulannya elit tetapi situ ku-mis), pendidikan, kesenjangan penghasilan dalam rumahtangga (meskipun situ suami tetapi saya lebih baik), seminari, dll.

Orang yang telah mengalami atau sedang dalam proses pembaharuan pikiran dengan benar akan mampu memiliki cara pandang yang benar tentang nilai dirinya. Contoh: Paulus dalam Filipi 3:7-8 setelah mengalami pembaharuan pikiran dari yang dulu begitu duniawi dan lahiriah akhirnya sadar dan berkata, “apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.  Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.” Karena itu citra diri kita harus dibangun bukan pada hal2 yang bersifat lahirah/duniawi tetapi kepada pengenalan akan Kristus yang mengubah hidup makin serupa dengan Dia.

!: Kita pasti akan menjadi orang yang berbahagia dan diberkati Tuhan apabila kita  terus membangun nilai diri berdasarkan pengenalan kita kepada Kristus.

2. Menerima Diri Dengan Benar (3b)

Selanjutnya Paulus katakan, “…sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing2.”  Atau dengan kata lain bahwa pembaharuan pikiran yang benar juga akan memampukan kita untuk menerima diri kita ‘menurut ukuran iman yang dikaruniakan Allah.’

Apa artinya ‘menurut ukuran iman’ dalam konteks pasal 12 ini? Saya sangat sependapat dengan James Montgomery Boice memberi 3 pengertian berdasarkan konteks Roma 12 ini:

1. keyakinan / kepercayaan kita kepada Allah

2. derajat pengetahuan kita tentang Allah

3. karunia rohani yang Tuhan berikan

Jadi, bila kita menerima diri kita menurut ukuran iman maka kita akan menjadi orang yang menerima diri apa adanya bagi Tuhan. Kita mampu menjadi diri kita sendiri tanpa kuatir dengan perbedaan2 yang bersifat lahiriah dengan orang lain.  Kita menghargai diri kita sebagai pemberian Allah yang indah bagaimanapun si-kon kita.  Kita tidak menjadi orang yang minder ketika kita tidak memiliki kelebihan2 yang dimiliki orang lain atau menjadi iri karenanya sehingga kitapun menghalalkan segala cara agar bisa sama seperti mereka. Ilustrasi: iklan Indian’s Peugeot…

Didalam gereja berkaitan dengan peran kita masing2 didalam tubuh Kristus: setiap kita memberi kontribusi bagi pekerjaan Tuhan sesuai karunia/talenta yang Tuhan berikan kepada kita. Kita harus belajar menghargai dan mengakui kenyataan bahwa Tuhan memberi kita anugerah sesuai dengan ukuran iman kita, apa adanya kita. Kita belajar mensyukuri dan puas dengan anugerah Tuhan bagi gereja kita. Ilustrasi: kodok ingin menjadi lembu akhirnya…. Meledak!

Didalam pelayanan kita belajar memahami apa yang Allah kehendaki untuk kita lakukan sebagai terobosan yang merupakan keunikan pelayanan kita sehingga dalam upaya belajar untuk melakukan yang terbaik kita mampu menjaga diri kita agar tidak terperangkap dalam konsep2 yang menawarkan jalan2 pintas bagi sebuah kemajuan yang sebenarnya hanya menempatkan kita sebagai pengekor atau peniru dari apa yang dihasilkan oleh orang lain.

Dalam keluarga: lakukan terobosan dalam terang FT. Apa yang FT perintahkan berkaitan dengan kehidupan RT dan keluarga kita aplikasikan. Itu yang akan memberkati dan menjauhkan pergumulan2 yang tidak perlu terjadi dalam RT kita.

Dalam bisnis/pekerjaan juga demikian. Kita menilai kemampuan kita bukan lagi sekedar pada hasilnya tetapi juga pada setiap proses didalam melakukan bisnis dan pekerjaan kita. Orang tidak dapat menerima diri akhirnya menghalalkan segala cara. Bisnis dan pekerjaan dengan cara2 yang bertentangan dengan nilai Kitab Suci. Mungkin bisa sukses, berhasil, untung besar tetapi apa gunanya bila untuk meraihnya harus mengorbankan nilai2 Kitab Suci?!

Jadi kita melihat bahwa menerima diri apa adanya adalah bukti bahwa kita telah atau sedang mengalami pembaharuan pikiran didalam kebenaran.

Kesimpulan

Bila kita memiliki penilaian dan pengenalan diri yang tepat dan benar didalam terang pembaharuan pikiran kebenaran maka kita akan dapat terus-menerus memuliakan Allah. Karena itu, mari dengan pertolongan Allah didalam Roh Kudus-Nya terus berjuang untuk membentuk citra diri kita berdasarkan uraian kebenaran FT ini.  Amin!